Tanah Nganggur Disita Negara (1)
Klaim Pemerintah: 1,4 Juta Hektare Tanah Telantar Diambil Negara
Pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengklaim telah mengamankan sekitar 1,4 juta hektare tanah telantar yang diambil alih negara.
Tanah ini merupakan bagian dari 55,9 juta hektare lahan bersertifikat di Indonesia. Nusron menyebut tanah tersebut akan didistribusikan kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Persatuan Ummat Islam (PUI), serta organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek) termasuk PMII.
“Di sinilah sebetulnya peluang sahabat-sahabat sekalian keluarga besar PMII, keluarga besar NU, keluarga besar Muhammadiyah, keluarga besar yang lain untuk mengisi ruang ini… ada 1,4 juta Ha,” ujar Nusron dalam Diskusi Publik Pengukuhan dan Rakerna PB IKA-PMII 2025–2030 di Jakarta, 13 Juli 2025.
Aturan Tanah Telantar: Sudah Lama Berlaku
Pengambilalihan tanah telantar oleh negara bukan kebijakan baru. Prinsip ini sudah diatur sejak lama dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.
Pasal 27, 34, dan 40 menyebutkan bahwa Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), atau Hak Guna Bangunan (HGB) dapat dihapus jika tanahnya ditelantarkan.
Aturan teknisnya dijabarkan dalam PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Aturan ini menjelaskan definisi, prosedur identifikasi, peringatan, hingga pencabutan hak.
PP ini diperbarui lewat PP Nomor 20 Tahun 2021 sebagai turunan UU Cipta Kerja. Salah satu poin pentingnya adalah percepatan penertiban tanah telantar serta penyalurannya untuk Reforma Agraria, termasuk kepada kelompok masyarakat, lembaga sosial, dan ormas.
Batas Waktu dan Kriteria Tanah “Nganggur”
Tanah tidak serta-merta dianggap telantar hanya karena kosong. Ada batas waktu dan kriteria yang jelas sesuai jenis haknya:
- Hak Guna Usaha (HGU): Wajib dimanfaatkan paling lambat 2 tahun sejak hak diberikan atau diperpanjang.
- Hak Guna Bangunan (HGB) & Hak Pakai untuk bangunan: Wajib dimanfaatkan paling lambat 2 tahun sejak hak diberikan.
- Hak Milik: Tidak ada batas waktu angka pasti, tetapi bisa dianggap telantar jika dibiarkan kosong lama tanpa alasan jelas, atau digunakan tidak sesuai peruntukan.
Selain waktu, indikator telantar meliputi:
- Tidak diusahakan atau tidak dipergunakan sesuai hak.
- Tidak membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam jangka panjang.
- Pemanfaatan tanah menyimpang dari rencana tata ruang atau izin yang diberikan.
Tahapan Sebelum Ditetapkan Telantar
Penetapan tanah telantar tidak dilakukan seketika. Ada tahapan yang dilalui BPN:
- Identifikasi
BPN mengumpulkan data fisik, yuridis, dan melakukan pengecekan lapangan. - Peringatan Tertulis (3 Kali)
Pemilik diberi kesempatan memperbaiki pemanfaatan tanah dalam jangka waktu tertentu, umumnya 1–2 tahun sesuai jenis hak. - Pencabutan Hak
Jika pemilik tidak menindaklanjuti, hak atas tanah dicabut dan statusnya berubah menjadi Tanah Negara.
Bisakah Pemilik Lama Mengambil Kembali?
Kesempatan pemilik lama untuk mendapatkan kembali tanah bergantung pada tahap prosesnya:
- Tahap Peringatan: Pemilik masih dapat mempertahankan haknya jika segera memanfaatkan tanah sesuai ketentuan.
- Hak Dicabut: Setelah hak dicabut dan tanah menjadi Tanah Negara, pemilik lama tidak otomatis bisa mengambil kembali. Ia harus mengajukan permohonan baru layaknya pihak lain, tanpa jaminan disetujui.
Distribusi Tanah ke Ormas: Implementasi Baru
Mekanisme penertiban tanah telantar adalah praktik rutin di BPN. Namun yang membuat kebijakan 2025 ini menarik perhatian adalah penentuan arah distribusi yang spesifik ke ormas keagamaan dan ormek mahasiswa.
Secara hukum, langkah ini dimungkinkan. PP 20/2021 dan peraturan menteri ATR/BPN mengatur bahwa tanah negara dari penertiban tanah telantar dapat digunakan untuk kepentingan sosial, pendidikan, dan keagamaan.
Meski demikian, pengamat agraria mengingatkan perlunya transparansi. Proses seleksi penerima, tujuan pemanfaatan, dan pengawasan menjadi faktor penting agar kebijakan tidak menimbulkan kesan politisasi atau konflik kepentingan.
Kesimpulan
Kebijakan pengambilalihan 1,4 juta hektare tanah telantar bukanlah hal baru dari sisi hukum. Dasarnya sudah ada sejak UUPA 1960 dan diperjelas lewat PP 11/2010 serta PP 20/2021.
Yang berbeda di 2025 adalah arah distribusi tanah kepada ormas besar seperti NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, dan PMII. Hal ini menuntut transparansi tinggi agar implementasinya adil dan bebas dari konflik kepentingan.
Bagi pemilik tanah, pelajaran pentingnya jelas: tanah tidak boleh dibiarkan “nganggur” melebihi batas waktu yang diatur. Jika lalai, hak bisa hilang, dan proses untuk mendapatkannya kembali bukanlah perkara mudah.
Ilustrasi: Komikkita
Join the conversation