Selamat Datang di Malas Nulis

Blur, Bising, dan Berbahaya

Soal kasus ijazah palsu, mungkin tidak lebih dari sekedar distraksi informasi. Sebab, sama sekali tidak ada kepentingan publik disana.

Di tengah suhu politik nasional yang memanas—terutama setelah masuknya surat pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran ke DPR—ruang publik kembali dipenuhi oleh satu isu lama yang tiba-tiba terasa baru: ijazah palsu. Padahal, isu ini sudah pernah muncul sejak satu dekade lalu, namun kini menyeruak lagi, membanjiri linimasa dan ruang diskusi, seolah-olah seluruh masalah bangsa ini berpangkal pada satu nama yang, secara jabatan, bahkan sudah bukan siapa-siapa lagi.

Muncul pertanyaan sederhana namun penting: mengapa sekarang? Mengapa seseorang yang tak lagi memegang posisi formal tiba-tiba menjadi musuh bersama nasional? Siapa yang diuntungkan ketika seluruh kamera publik diarahkan ke masa lalu, sementara panggung kekuasaan hari ini dipenuhi wajah-wajah yang justru merupakan perpanjangan dari nama tersebut?

Yang perlu dicatat: isu ijazah palsu ini bukan baru. Ia sudah pernah muncul, dibantah, diajukan ke pengadilan, bahkan dilabeli hoaks bertahun-tahun lalu. Tapi anehnya, ia tidak pernah benar-benar diselesaikan secara hukum, juga tidak pernah benar-benar hilang. Seolah-olah isu ini memang sengaja dirawat—disimpan rapi di lemari kekuasaan, untuk kemudian dikeluarkan kembali ketika narasi yang dibutuhkan adalah: lupa pada yang berkuasa hari ini, dan marah pada yang sudah bukan siapa-siapa.

Di saat bersamaan, publik seakan lupa bahwa ada wacana serius terkait pemakzulan Wapres. Suratnya sudah masuk ke DPR, ditandatangani oleh tokoh-tokoh purnawirawan dan akademisi. Proses politik sedang berlangsung, bahkan Prabowo dan Jokowi disebut berada dalam posisi tarik-ulur kekuasaan. Tapi publik lebih sibuk memperdebatkan satu ijazah yang usianya sudah lebih dari dua dekade. Ini bukan lagi kebetulan; ini distraksi.

Dalam Blur, buku penting karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang diterjemahkan oleh Dewan Pers, tertulis dengan sangat tajam: “Internet praktis menghancurkan peranan ruang redaksi sebagai gate keeper informasi. … Pasokan informasi mbludak, masyarakat menjadi kesulitan untuk menyaring mana yang masuk akal, mana propaganda, mana tipu-tipu.” Begitulah situasi kita hari ini. Di tengah kebisingan dan kebanjiran informasi, justru fakta yang paling penting kerap luput dari perhatian. Yang viral bukan yang paling benar, melainkan yang paling sensasional.

Di sinilah kita bisa melihat bahwa ijazah palsu telah berubah fungsi. Bukan lagi sebagai upaya penegakan integritas, melainkan alat pengalih yang sangat efektif. Kita disuruh marah ke masa lalu agar lupa menagih masa kini. Kita dibakar dengan moralitas simbolik, padahal struktur yang melahirkan ketidakadilan justru sedang duduk manis di kursi kekuasaan.

Ironisnya, sosok yang kini jadi sasaran bukanlah pemegang kekuasaan, melainkan hanya orang tua dari mereka yang sedang duduk di puncak kekuasaan. Seolah-olah dengan menguliti masa lalunya, anak dan menantunya bisa bebas dari beban sejarah. Padahal justru mereka inilah yang seharusnya menjadi pusat sorotan. Tapi perhatian publik sudah teralihkan, kabur, blur.

Maka hari ini, pertanyaan yang layak kita ajukan bukan hanya “apa yang sedang dibahas?”, tapi “apa yang sedang sengaja tidak dibahas?”. Apa yang sedang ditenggelamkan oleh kebisingan? Apa yang sedang disembunyikan oleh gemerlap moral palsu?

Dalam dunia yang blur seperti ini, sensor tak lagi bekerja lewat pelarangan, melainkan melalui penenggelaman. Fakta penting dikaburkan oleh fakta tidak penting yang sengaja dibesarkan. Kita dibiarkan gaduh agar tak sempat berpikir. Kita disuruh curiga pada masa lalu agar tak sempat menuntut masa kini.

Dan jika kita tidak sadar sedang diarahkan, maka kita akan terus menjadi penonton yang sibuk, tapi tidak pernah tahu apa yang sebenarnya sedang dimainkan di balik layar.

Karena dalam sistem seperti ini, yang paling berbahaya bukan apa yang dikatakan—melainkan apa yang sengaja tidak dibicarakan.