Grebeg Sampah: Ritual Tahunan di Ponorogo
Ponorogo selalu punya cara untuk tampil meriah. Ada reog, ada festival, ada Grebeg Suro. Di tengah sorak-sorai dan gebyar kembang api, kita melihat wajah budaya yang gagah—tapi coba tengok ke bawah, kadang bau anyir plastik terbakar ikut naik ke lubang hidung. Tradisi ini megah, ya. Tapi limbahnya? Lebih megah lagi.
Sudah jadi siklus tahunan. Di hari biasa, Dinas Lingkungan Hidup mencatat TPA Mrican dijejali 70 sampai 90 ton sampah per hari. Kapasitas pengolahan? Paling banter 45 ton. Artinya, setiap hari kita menabung limbah sekitar 30 ton. Tapi masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa, membuang tanpa beban. Toh, yang ngangkut petugas.
Lalu datanglah hari besar. Lebaran, Grebeg Suro, Festival Serenade. Volume sampah melonjak, bisa sampai 140 atau bahkan 150 ton per hari. Di Alun-alun, tempat reog berputar-putar, para pengunjung berjubel dengan cilok di tangan kiri dan botol plastik di kanan. Usai acara, tanah penuh tusuk sate dan bungkusan kopi saset. Keriuhan ditinggal pergi, dan sampahnya menetap.
Grebeg Suro 2023 menyisakan 4 kontainer besar, masing-masing 6 ton. Itu baru satu titik. Grebeg Suro 2024 pun sudah disambut dengan “pasukan kuning” dan kontainer tambahan, karena kita semua tahu, limbah akan datang, dan itu bukan kejutan. Ritual tahunan kita kini tak hanya barongan dan jaranan, tapi juga: memproduksi gunungan sampah dan berharap seseorang membersihkannya diam-diam.
Pemerintah? Sudah cukup bekerja keras. Mereka angkat tong, sapu jalan, bersihkan Alun-alun dini hari. Bahkan ada wacana menjadikan TPA sebagai objek eduwisata. Ironis, memang. Tapi bukankah itu solusi paling realistis? Kalau tak bisa menuntaskan, sekalian saja diajak selfie.
TPS pusat kota sudah mau dipindah karena sudah tak kuat menampung. TPS3R Surodikraman diaktifkan kembali. Tapi perubahan tidak datang dari infrastruktur semata. Mental kita belum sampai. Selama masih ada orang yang bilang "ya wis buang pinggir dalan wae, ben diangkut wong pemerintah", ya sistem seefisien apa pun akan keok.
Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Imam Prasodjo, pernah mengatakan: “Masalah sampah bukan hanya tentang tempat sampah, tapi tentang budaya malu. Kalau tak ada rasa malu melihat lingkungan kotor, maka edukasi akan selalu gagal.”
Ada kontradiksi yang menggigit di sini. Kita menyebut diri masyarakat berbudaya, tapi tak malu menyampahkan budaya. Kita hormat saat reog tampil, tapi cuek saat plastik menumpuk di bawahnya. Kita bangga bisa menggelar acara sebesar Grebeg Suro, tapi gagap menghadapi konsekuensi ekologisnya. Tradisi tahunan, limbah tahunan. Barangkali sudah saatnya keduanya masuk dalam daftar acara resmi.
Masalahnya bukan hanya volume, tapi juga kesadaran. Kampanye "buang sampah pada tempatnya" masih hidup di spanduk dan baliho, tapi mati di lapangan. Dan anehnya, kita tidak merasa bersalah. Kita bahkan bertepuk tangan untuk pesta yang meninggalkan jejak destruktif, lalu kembali ke rumah tanpa merasa perlu ikut membersihkan.
Aktivis lingkungan, M. Nur Hidayat dari Ecoton, pernah bilang: “Sampah bukan hanya persoalan teknis, tapi cermin dari cara pikir dan cara hidup. Kita hidup dalam budaya sekali pakai, dan sekali lupa.”
Apakah kita terlalu mencintai euforia dan membenci tanggung jawab? Atau mungkin, kita memang sudah terbiasa hidup di antara tumpukan limbah, sehingga tak merasa itu masalah? Mungkin benar kata pepatah: kalau sudah kebal bau, kita pikir udara itu wangi.
Mari kita perjelas satu hal. Budaya bukan hanya soal tarian dan atraksi. Budaya juga soal cara kita memperlakukan ruang hidup, tanah, air, udara. Jika setiap perayaan hanya meninggalkan residu yang lebih banyak dari maknanya, maka kita sedang menjalankan budaya kosong yang dibungkus meriah.
Tentu tidak adil menyalahkan rakyat kecil semata. Event besar digelar dengan anggaran besar. Mestinya alokasi untuk mitigasi limbah pun besar. Tapi yang lebih menyedihkan, kita punya pola pikir massal yang mengatakan: "kebersihan itu urusan tukang sapu, bukan urusan saya." Dalam logika itu, budaya bersih hanya hidup selama petugas masih kuat menyapu.
Grebeg Suro akan terus berjalan. Dan mungkin, gunungan sampah juga akan terus membesar. Kecuali ada lompatan kesadaran: bahwa merayakan itu bukan berarti boleh mengotori. Bahwa tradisi itu bukan hanya soal yang dirayakan, tapi juga cara kita merayakannya.
Atau jangan-jangan kita butuh satu ritual baru? Sebuah kirab plastik bekas, dengan gunungan bungkusan cilok dan botol kopi. Sebuah sesajen modern untuk dewa limbah. Supaya kita sadar: sampah ini bukan datang dari langit. Ia hasil tangan kita sendiri.
Selamat Grebeg Sampah. Semoga tahun depan kita tidak hanya lebih ramai, tapi juga lebih sadar. Karena budaya sejati tidak meninggalkan jejak kotor, selain tapak kaki di tanah yang bersih.
Post a Comment