Syariah Rasa Kapitalis: Ibadahpun Bisa Dicicil
Dulu, orang lari dari riba karena tahu itu haram. Jelas disebut dalam Al-Qur’an, ditakuti karena ancamannya berat. Tapi sekarang, riba datang lagi—dengan akad baru, istilah Arab, dan senyuman staf marketing bank berpeci. Di brosur tertulis besar: “Tanpa bunga! Sesuai syariah!” Tapi entah mengapa, cicilannya tetap saja terasa mencekik.
Kita pun mulai bertanya-tanya:
ini syariah tenaan, opo ming kapitalisme syar'i?
Haji, rumah, motor, bahkan panci teflon—semuanya bisa dicicil. Dan semua kini tersedia dalam versi “syariah”. Tak perlu takut dosa, katanya. Karena yang ini halal, margin-nya sudah disesuaikan dengan fatwa. Yang penting akadnya sah.
Tapi kalau dihitung-hitung, marginnya sering lebih mahal dari bunga konvensional. Bahkan, terkadang lebih rumit. Ada biaya administrasi, ada ujrah, ada margin tetap, ada denda telat bayar (yang katanya akan disumbangkan). Tapi tekanan ke nasabah tetap terasa. Kalau ada masalah, jarang yang memedulikan.
Bedanya cuma: yang ini dibungkus akad murabahah, yang itu pakai istilah kredit bunga tetap. Yang satu diproses oleh bank bercorak islami, yang satu oleh bank biasa. Tapi pada akhirnya, yang bayar tetap saja rakyat. Dan beban tetap terasa berat.
Akhirnya, kita dihadapkan pada realitas yang embuh dan entahlah:
ribanya hilang dari teks, tapi tidak dari rasa.
Padahal, misi syariah itu mulia. Larangan riba bukan sekadar larangan teknis, tapi perlindungan terhadap manusia. Tujuannya jelas: supaya orang tidak terjebak utang yang menindas. Supaya tidak ada yang terpaksa mengambil pinjaman berbunga tinggi hanya demi ibadah. Supaya ekonomi jadi alat bantu hidup, bukan alat memperpanjang penderitaan.
Sayangnya, banyak produk keuangan syariah hari ini yang justru kehilangan rohnya. Alih-alih menjadi solusi umat, ia justru jadi instrumen komersial. Di beberapa tempat, bank syariah malah terasa lebih "galak" daripada bank konvensional. Margin lebih tinggi, cicilan lebih panjang, prosedur lebih rumit.
Bahkan ibadah pun kini bisa dicicil.
“Talangan haji syariah, cicilan ringan, berangkat cepat!”
Kita dibuat merasa mampu secara finansial, meskipun hakikatnya belum siap. Karena yang penting adalah “dapat porsi haji dulu”, urusan cicilan nanti belakangan. Dan kalau rakyat kecil mulai bertanya, jawabannya selalu sama: “Sudah sesuai fatwa, kok.”
Agama, dalam hal ini syariah, bukan hanya soal halal dan haram yang bersandar pada lembaran hukum. Tapi juga tentang rasa keadilan, kejujuran, empati, dan kasih sayang sosial. Kalau suatu produk keuangan syariah malah membuat orang kecil semakin susah, itu bukan syariah yang sejati. Itu hanya kapitalisme yang ditaburi istilah Arab.
Syariah mestinya meringankan. Menenangkan. Membebaskan.
Syariah tidak seharusnya membuat orang makin berat napasnya, atau makin gelisah di akhir bulan karena cicilan.
Di zaman sekarang, riba tak lagi datang dengan wajah bengis.
Ia datang dengan dasi, jubah, dan label halal.
Tapi taringnya masih menggigit.
Hanya saja, sekarang gigitannya lebih sopan.
Join the conversation