Islamotainment: Saat Tuhan Harus Bersaing dengan Algoritma
Ada masa ketika orang-orang rajin membuka jadwal shalat di dinding mushala atau mendengarkan suara adzan dari surau. Sekarang, sebagian lebih rajin membuka dashboard untuk memastikan jam unggah. Konon, pukul delapan malam adalah jam emas untuk engagement. Adzan Isya yang berkumandang di waktu yang sama sering hanya jadi notifikasi tambahan, disandingkan dengan nada dering aplikasi pesan singkat.
Agama, di tangan media sosial, berubah menjadi konten. Doa panjang diringkas menjadi tiga baris quotes, dibungkus tipografi indah, dan disebarkan agar bisa dikagumi. Ceramah satu jam dipotong menjadi tiga puluh detik dengan musik latar dramatis. Bukan lagi kedalaman yang dikejar, melainkan seberapa lama orang mau berhenti scrolling.
Fenomena ini melahirkan satu istilah yang mungkin paling pas: Islamotainment. Agama yang diperlakukan seperti hiburan—ringan, cepat, sesaat. Ada tawa, ada haru, ada rasa tersentuh, tetapi hanya berlangsung sebentar. Setelah itu, kita kembali ke “setelan pabrik”: sibuk, egois, penuh kelalaian.
Dalam Islamotainment, Tuhan seolah harus bersaing dengan algoritma. Sebab algoritma lebih tahu cara menarik perhatian manusia modern: potongan singkat, visual mencolok, musik menyentuh. Ia menghitung setiap detik tatapan mata, setiap jempol yang bergerak, setiap komentar yang masuk. Kebenaran tidak lagi muncul di beranda karena paling tulus atau paling bijak, melainkan karena paling viral.
Maka kita menyaksikan bagaimana doa dipoles agar ramah kamera. Untaian kalimat bijak harus berpadu dengan background matahari terbenam. Lafaz yang suci dipasangkan dengan voice over penuh penghayatan. Kisah nabi dan ulama dijadikan konten motivasi instan, siap saji untuk kebutuhan batin yang cepat lapar.
Pertanyaannya, apakah agama sedang tumbuh di sini, atau justru sedang dijual?
Sebab, dalam Islamotainment, popularitas lebih mudah mengalahkan kedalaman. Dakwah yang paling ramai bukanlah yang menantang pikiran, melainkan yang paling mudah ditelan. Doa yang paling disukai bukanlah doa yang dihayati dalam kesunyian, melainkan yang bisa di-download sebagai nada dering. Tuhan seolah dipanggil, tetapi dalam bentuk yang sudah dikurasi algoritma.
Satirnya, kita bisa berdebat panjang soal siapa ustaz yang sedang tren, tapi sering lupa siapa tetangga yang sedang lapar. Kita lebih hafal timeline ustaz TikTok daripada wajah jamaah mushala dekat rumah. Agama direduksi menjadi tontonan, bukan tuntunan. Yang dipamerkan adalah filter kesalehan, sementara kehidupan nyata tetap berjalan seperti biasa, penuh kelalaian yang tak pernah masuk kamera.
Islamotainment juga mengajarkan ketakutan baru: takut kehilangan pengikut, takut algoritma tidak berpihak, takut unggahan tenggelam, takut tidak relevan di mata audiens. Padahal dulu, yang paling ditakuti adalah kehilangan iman, kehilangan arah, kehilangan makna hidup.
Tentu, tidak bisa dipukul rata. Ada orang yang menemukan hidayah lewat konten singkat. Ada yang benar-benar tersentuh oleh potongan ceramah sederhana. Namun masalahnya bukan pada ada atau tidaknya kebaikan, melainkan pada cara kita memaknai agama itu sendiri. Apakah kita beragama untuk benar-benar mendekat, atau sekadar tampil agar terlihat dekat?
Agama yang kehilangan ruang sunyi akan mudah sekali berubah menjadi agama yang berisik. Ia penuh kompetisi: siapa paling viral, siapa paling banyak pengikut, siapa paling ditonton. Padahal yang dicari bukanlah siapa yang paling sering muncul di layar, melainkan siapa yang benar-benar hadir di kehidupan nyata, dengan segala kepeduliannya.
Akhirnya, kita dihadapkan pada pertanyaan sederhana tapi menohok: di antara Tuhan dan algoritma, siapa yang sebenarnya lebih sering kita ikuti? Siapa yang lebih sering kita takuti kehilangan? Dan siapa yang lebih sering kita rindukan kehadirannya?
Boleh jadi, tanpa sadar, kita lebih sibuk menjaga konsistensi unggahan daripada konsistensi ibadah. Lebih rajin memperhatikan statistik penonton daripada memperhatikan hati sendiri. Tuhan pun seakan terpaksa ikut tampil dalam gelanggang yang tak pernah Dia minta: gelanggang timeline yang haus perhatian.
Mungkin sudah waktunya kita belajar kembali membiarkan agama tetap menjadi agama, bukan sekadar hiburan. Sebab jika tidak, kita akan terus terjebak dalam Islamotainment: merasa religius di layar, tapi tetap kembali ke setelan pabrik di dunia nyata.
Penulis: N/A
Editor: N/A
Ilustrasi: N/A
Join the conversation