Lingkaran Setan Orang Sholeh: Dari Platinum Member Hingga Trial Version
Ini sebenarnya titipan kegelisahan seorang teman. Ia pernah berteman dengan orang yang tidak terlalu sholeh, dan juga berteman dengan orang yang jelas-jelas tidak sholeh. Hingga suatu hari, ia mendapat peringatan dari orang sholeh lain: bahwa orang yang ia temani itu… bukanlah orang sholeh dan teman saya ini dianggap tidak pantas jika "nongkrong" dengan mereka
Di sekitar kita, ajakan untuk berteman dengan orang sholeh bukan barang baru. Dari pengajian di langgar sampai ceramah di sosial media, selalu ada nasihat yang diulang-ulang: “Bertemanlah dengan orang-orang sholeh.” Nasihat yang terdengar indah, apalagi disampaikan sambil duduk di tikar pandan dengan secangkir kopi panas.
Ada pula “rumus seleksi teman” yang pernah saya baca di status seorang penceramah. Kurang lebih begini: “Kalau suatu saat kamu punya anak, dan kamu rela orang itu menikah dengan anakmu, berarti dia pantas jadi teman. Kalau tidak rela, berarti dia bukanlah orang yang pantas kamu jadikan teman.” Rumus ini terdengar sederhana, meski diam-diam cukup eksklusif—apalagi jika di masyarakat kita punya standar menantu “harus paham kitab kuning atau minimal bisa memimpin tahlil”. Apakah itu masalah bagi saya?. Sama sekali bukan masalah dan bisa jadi saya mendukung pandangan ini
Masalahnya bukan pada ajakan berteman dengan orang sholeh. Justru itu baik. Sungguh, itu sangat baik. Tapi, kalau dilihat lebih dekat, lingkaran orang sholeh kadang terasa seperti klub sosial eksklusif. Tidak ada papan nama resminya, tapi semua orang tahu siapa anggotanya.
Anggota lingkaran ini punya ciri khas. Pakaian mereka rapi—sarung rapi, baju koko harum minyak wangi, dan kopiah hitam yang mulus. Mereka duduk di barisan depan langgar atau majlis, khusyuk mengikuti majlisan dari awal sampai doa penutup.
Tata krama mereka juga khas. Salam penuh senyum, suara pelan saat bicara, dan selalu ada selipan kisah ulama atau cerita-cerita grup sholawat yang viral di sela obrolan. Semua terlihat tertib, sampai-sampai mirip brand identity yang terjaga.
Masalah mulai terasa ketika warga "biasa" atau bahkan di bawah garis "biasa" merasa sungkan untuk mendekat. Jamaah yang datang hanya saat ada slametan atau Maulidpun kadang merasa minder. Yang sudah jadi “anggota inti” pun, tanpa sadar, memberi jarak—bukan karena menolak, tapi karena kebiasaan dan tata krama mereka membuat “non-anggota” merasa canggung.
Fenomena ini akhirnya mirip private club. Tidak ada tiket masuk resmi, tapi suasananya seperti ada pintu tak kasat mata. Ada yang bebas melangkah ke dalam lingkaran, ada pula yang tetap di luar sambil menunggu undangan resmi.
Kalau mau dibuat satir, sistem ini tinggal dirapikan saja. Jadikan seperti membership di pusat perbelanjaan mewah, lengkap dengan paket Platinum, Gold, dan Silver.
Platinum Member: Jamaah yang hadir di semua tahlil, manaqiban, Maulid, dan haul. Hafal semua shalawat dari Simtudduror sampai Burdah. Keuntungan: duduk di depan dekat kyai, selalu kebagian berkat istimewa, dan diajak dalam musyawarah penting.
Gold Member: Jamaah yang rajin tahlil rutin, hadir di Maulid besar, dan sesekali ikut manaqiban. Keuntungan: nama selalu masuk daftar penerima undangan, berkatnya lengkap, dan kadang diajak membantu persiapan acara.
Silver Member: Jamaah yang datang kalau ada slametan atau tahlil kematian saja. Keuntungan: dapat berkat standar, boleh duduk di serambi langgar atau maksimal duduk di belakang penabuh alat musik, dan berpeluang upgrade status kalau mulai rutin rawuh.
Ironisnya, lingkaran ini justru dibutuhkan oleh jamaah Silver—mereka yang jarang hadir tapi ingin belajar dan ikut meramaikan pengajian. Sayangnya, suasana eksklusif kadang membuat mereka kesulitan untuk “sembuh” dari kebiasaan jarang rawuh.
Fenomenanya jadi seperti klub kesehatan spiritual. Tempat “melatih jiwa” dan memperbaiki akhlak. Sayangnya, klub ini punya syarat aneh: yang boleh masuk hanya yang sudah “sehat rohaninya”. Jamaah yang masih “batuk-batuk amaliahnya” harus menunggu di luar sampai kelihatan cukup sehat.
Hasilnya? Jamaah Platinum makin sehat, makin kuat. Sementara jamaah Silver tetap saja di luar pagar, melirik ke dalam sambil berharap ada yang mengajak masuk. Padahal kalau pintu dibuka lebih lebar, suasana langgar atau majlis bisa lebih ramai dan meriah.
Mungkin sudah saatnya lingkaran orang sholeh bertransformasi. Tidak lagi seperti VIP lounge yang eksklusif, tapi seperti langgar terbuka di malam Jumat—siapa pun boleh rawuh, entah mau duduk di depan atau di serambi, semua tetap dianggap bagian dari jamaah.
Karena pada akhirnya, baik yang duduk di barisan depan maupun yang baru datang saat ada berkat, kita semua sama-sama sedang belajar menjadi hamba yang lebih baik—tanpa perlu khawatir status keanggotaan.
Join the conversation