Hoaks Sri Mulyani dan Negara yang Membebani Guru
Beberapa hari lalu publik ramai membicarakan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Potongan kalimatnya beredar dengan judul sensasional: “Guru adalah beban.” Kalimat itu sontak menyalakan api amarah. Wajar saja—siapa yang tidak tersulut jika guru, yang selama ini menjadi tumpuan harapan bangsa, dilabeli beban?
Namun, setelah ditelusuri, ternyata itu hoaks. Tidak ada pernyataan langsung dari Sri Mulyani yang menyebut guru sebagai beban. Yang ia sampaikan sebenarnya tentang beban keuangan negara dalam membiayai sektor pendidikan, dan pentingnya pengelolaan dana yang transparan serta akuntabel. Jadi, kata “beban” merujuk pada anggaran, bukan pada sosok guru. Klarifikasi sudah disampaikan; tugas kita meluruskan agar emosi publik tidak dipelihara oleh kabar palsu.
Meski begitu, persoalan tidak selesai di titik itu. Justru di balik klarifikasi, ada hal yang perlu ditelaah: cara negara berbicara tentang guru, arah kebijakan yang dipilih, dan bagaimana anggaran pendidikan dialirkan.
Kita tahu, guru adalah ujung tombak pendidikan. Namun dalam praktiknya, mereka sering dipaksa memikul beban tambahan yang seharusnya tidak perlu. Setiap ada pembaruan kurikulum, mereka dituntut beradaptasi dengan cepat; setiap tahun ajaran baru, tidak sedikit guru yang dipaksa membeli seragam baru hanya untuk menyesuaikan aturan sekolah atau kebijakan lokal. Seragam boleh selalu berganti, tetapi gaji tak ikut berubah. Di situ terasa ironi yang sulit ditertawakan.
Di luar urusan hoaks, ada kalimat yang mengusik telinga: gagasan bahwa pembiayaan guru bisa dibantu melalui partisipasi masyarakat. Sekilas terdengar manis—seolah menghidupkan semangat gotong royong. Tetapi jika dicermati, kalimat itu menyimpan potensi tafsir: negara ingin berbagi, bahkan melepaskan sebagian tanggung jawabnya. Padahal, mengurus guru bukan urusan sampingan; itu mandat konstitusi. UUD 1945 jelas menugaskan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan itu mustahil tanpa keberpihakan penuh pada mereka yang mengajar.
Jika partisipasi masyarakat dijadikan selimut untuk menutupi minimnya perhatian negara, bukankah itu sama saja dengan cuci tangan? Gotong royong itu mulia, tetapi ia tidak boleh menggantikan kewajiban dasar negara terhadap guru.
Soal anggaran membuat ironi ini semakin tebal. Setiap tahun kita mendengar 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan. Angka yang terdengar megah. Namun, ketika diperiksa, tidak semuanya menyentuh kesejahteraan guru atau kualitas pembelajaran. Belakangan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyedot perhatian besar dan disebut sebagai bagian dari belanja pendidikan. Memberi makan anak sekolah tentu penting, tetapi bila porsi energi anggaran lebih sibuk mengurus piring daripada pembelajaran, maka ada yang keliru dalam prioritas.
Ironinya, tanpa MBG pun, anggaran pendidikan kerap menguap. Kita sudah lama mendengar cerita tentang ruang kelas yang rapuh, fasilitas yang serba kurang, pelatihan yang sekadar formalitas, dan guru honorer yang hidup dengan gaji di bawah UMR. Di satu sisi jargon dan seremoni terus bertambah; di sisi lain, nasib guru tetap menggantung.
Pada titik ini, pertanyaan yang adil justru begini: benarkah yang dianggap beban itu guru, atau kebijakan negara yang tak konsisten menempatkan pendidikan—dan terutama guru—sebagai prioritas?
Kisah hoaks ini juga menyingkap ancaman yang lebih besar di era teknologi. Hari ini, publik sudah cukup bingung oleh potongan teks dan video pendek yang dipelintir. Besok, dengan teknologi deepfake, suara dan wajah pejabat bisa dipalsukan sedemikian rupa hingga tampak nyata. Bayangkan jika suatu hari beredar video yang sangat meyakinkan—lengkap dengan intonasi dan ekspresi—ketika seorang pejabat menyebut “guru adalah beban”. Berapa juta orang yang akan percaya sebelum klarifikasi sempat beredar? Dalam iklim politik yang bising dan literasi media yang belum merata, deepfake bisa menjadi badai yang mudah memporak-porandakan nalar publik.
Karena itu, melawan hoaks bukan hanya soal membantah, tetapi juga memperkuat ekosistem kepercayaan: transparansi data anggaran, komunikasi yang jernih, dan keberpihakan yang nyata pada guru. Tanpa itu, klarifikasi akan selalu datang terlambat; narasi palsu keburu beranak-pinak.
Pada akhirnya, kita sampai pada lingkaran yang ironis. Pemerintah masih gagap memenuhi kewajiban mendasar kepada guru. Masyarakat sering ikut abai: marah di media sosial, namun jarang menagih kebijakan yang jelas. Teknologi memberi kemudahan, tetapi juga membawa senjata baru untuk memanipulasi kenyataan. Semua bertumpuk, dan pada akhirnya yang paling merasakan bebannya adalah guru.
Mungkin inilah saatnya membalik sudut pandang. Guru bukan beban negara; merekalah yang selama ini menanggung beban agar bangsa ini tetap berjalan. Jika negara sungguh-sungguh pada pendidikan, ukurannya sederhana: berhenti memperbanyak seremoni, tata ulang prioritas anggaran, dan pastikan kesejahteraan guru naik kelas. Selebihnya, biar mereka bekerja mendidik kita semua—tanpa perlu lagi dibayangi hoaks, tafsir yang menyesatkan, atau kewajiban seragam yang selalu berganti sementara gaji tak ikut berubah.
Penulis: N/A
Editor: N/A
Ilustrasi: N/A

Join the conversation