Jangan Serahkan Kepercayaanmu ke Robot: Peringatan Lyotard tentang Dunia yang Terlalu Canggih
Bayangkan suatu hari kita curhat ke komputer soal cinta yang kandas, atau soal kenyataan yang sedang sumpeg, dan dia membalas, “ERROR 404: Empati not found.” Nah, di situlah letak masalahnya.
Jean-François Lyotard, filsuf asal Prancis, sudah sejak lama khawatir soal hal ini. Dalam bukunya yang terdengar agak mistis, The Inhuman: Reflections on Time (1991), Lyotard menulis tentang satu momok masa depan: inhumanisme—sebuah pemikiran yang menaruh teknologi di singgasana, sementara manusia cuma jadi sidekick.
Menurut Lyotard, manusia sedang main-main api. Ia mewanti-wanti soal kecerdasan buatan (AI) yang bisa saja berevolusi jadi Artificial Life (AL), dan akhirnya bilang ke kita, “Terima kasih sudah menciptakan kami. Sekarang minggir, giliran kami yang hidup.” Ya, seperti di film The Matrix.
Kenapa Lyotard panik?
Sederhana: semakin canggih teknologi, semakin besar tagihannya—dan manusialah yang harus bayar, pakai nyawa dan eksistensi. Coba bayangkan: kita sangat bergantung pada komputer. Listrik padam sejam saja sudah bikin orang gelisah, apalagi kalau listrik padam sebulan karena, misalnya, matahari meledak.
Lyotard juga pernah menyinggung peristiwa nyata yang lebih down to earth—virus komputer tahun 2000 yang bikin 10% server e-mail dunia ambyar. Dalam sehari, kerugiannya bisa bikin dompet kapitalis mana pun mendadak puasa.
Tapi tunggu dulu, bukan cuma soal e-mail error. Lyotard juga menggugat tekno-sains yang beroperasi di bawah sistem kapitalisme-lanjut. Dalam sistem ini, teknologi bukan lagi alat untuk membantu manusia, tapi malah jadi bos. Efisiensi jadi dewa, sementara pertanyaan semacam “ini etis tidak sih?” langsung diseret keluar ruangan.
Contohnya? Bayi tabung. Teknologinya keren, tapi siapa orangtuanya? Sistemnya sih jalan, tapi kemanusiaannya absen. Bagi Lyotard, ketika moral dilupakan demi efisiensi, maka yang manusiawi bisa berubah jadi sangat tidak manusiawi.
Ia juga mengamati bahwa inovasi teknologi di dunia kapitalisme itu mirip seperti ngemil keripik: satu tidak pernah cukup. Baru bikin satu kemajuan, langsung ingin bikin yang lebih canggih. Lama-lama, katanya, satu-satunya batas dari kemajuan itu ya... matahari meledak. (Lyotard benar-benar membicarakan soal sun explosion sebagai batas final.)
Nah, soal “mesin yang bisa berpikir seperti manusia”? Menurut Lyotard: mitos. Mesin bisa cepat, tapi tidak bisa galau. Mesin bisa presisi, tapi tidak ngerti makna puisi. Mesin itu suka penyeragaman, sedangkan manusia suka beda-beda dan sering tidak jelas. Kalau semuanya diseragamkan oleh algoritma, lalu di mana letak “kemanusiaan”?
Ia bahkan bikin analogi demikian: kalau kamu kirim surat fisik dan alamatnya agak melenceng, tukang pos masih bisa mikir, “Oh, maksudnya ke sini.” Tapi kalau diserahkan ke robot? Alamat salah satu huruf? Surat itu bakal hilang ke dimensi lain. Dari situ, Lyotard menyimpulkan kalimat ikonik:
“Serahkan yang manusiawi pada manusia, dan yang tak manusiawi pada nonmanusia.”
Simpel, tapi nyelekit.
Dan terakhir, yang paling penting: teknologi tidak punya rasa capek, tidak bisa bosan, dan tidak pernah baper. Sementara manusia? Lelah adalah takdir. Dan justru dalam ketidaksempurnaan itulah, manusia menunjukkan kualitasnya—emosi, intuisi, kebingungan, bahkan penderitaan. Semua itu tidak bisa dikodekan pakai biner.
Maka, sebelum kita terlalu percaya bahwa teknologi bisa “menggantikan” manusia, Lyotard mengingatkan satu hal penting:
Jangan serahkan seluruh hidupmu ke mesin. Karena saat kamu butuh pelukan, mereka cuma bisa memberi notifikasi.
Join the conversation