Lulus SD: Bisa Apa?
Sistem pendidikan kita, alih-alih membebaskan, justru seperti pabrik sepatu: semua anak harus muat dalam ukuran yang sama, siapa pun bentuk kakinya. Kurikulum dijejalkan seragam dari Sabang sampai Merauke, seolah semua anak belajar di ruang dan kondisi yang setara. Guru dipaksa mengejar target administratif, bukan mendampingi proses berpikir. Ujian dijadikan tolak ukur utama, padahal yang diuji seringkali bukan pemahaman, melainkan kemampuan menghafal dengan baik dan menyalin dengan cepat. Anak yang lambat dianggap bodoh, yang kritis dianggap membangkang. Maka jangan heran jika sistem ini lebih sukses mencetak murid patuh daripada murid merdeka. Dan lebih banyak yang lulus karena takut, bukan karena paham.
Belum lagi soal kelulusan itu sendiri. Sistem mengharuskan semua siswa lulus—karena jika ada yang tidak, akreditasi sekolah bisa turun, kepala sekolah bisa kena tegur, dan guru bisa disalahkan. Maka terjadilah akrobat nilai: remedial simbolik, jawaban dibisikkan, atau ujian ulang yang sekadar formalitas. Karena jika ada anak tidak lulus, bukan hanya sistem yang panik—orang tua bisa datang melabrak, lengkap dengan kalimat sakti: “Masa anak saya nggak lulus, Pak? Kan udah bayar seragam.”
Di tingkat pusat, kebijakan pendidikan berubah seperti musim: datang tiba-tiba, penuh jargon segar, lalu menghilang sebelum sempat membuktikan hasil. Kurikulum ganti nama lebih sering daripada anak SD ganti sandal jepit—dari KBK, KTSP, K13, hingga Kurikulum Merdeka yang katanya membebaskan, tapi kadang justru membingungkan. Guru di lapangan diminta menyesuaikan diri dalam waktu semalam, dengan pelatihan yang seringkali seadanya, modul yang tak lengkap, dan koneksi internet yang bergantung pada WiFi cakruk kampung yang sinyalnya cuma lancar saat azan magrib. Implementasi kebijakan banyak yang berhenti di spanduk dan slide presentasi. Sementara di ruang kelas, anak-anak bertanya, “Bu, ini maksudnya apa?”—dan gurunya menjawab dengan senyum pasrah, karena petunjuk teknis pun masih dalam proses “akan dikirim minggu depan.” Tapi tenang saja, laporan tetap ditulis: “Berjalan lancar dan sesuai target.”
Padahal kalau mau jujur, membentuk lulusan SD yang layak itu sebenarnya tidak perlu rumit. Cukuplah jika seorang anak bisa membaca dengan pemahaman, berhitung dengan logika dasar, hidup berdampingan tanpa saling melukai, menjaga kebersihan diri dan lingkungannya, serta mulai belajar bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Itu saja dulu. Bare minimum. Tapi justru hal-hal sederhana inilah yang kerap terlewat, terkubur di balik tuntutan laporan, rubrik penilaian yang rumit, dan perubahan kurikulum yang datang silih berganti. Guru sebenarnya tahu apa yang dibutuhkan muridnya—sayangnya, suara mereka sering tak terdengar di ruang-ruang pengambilan keputusan. Seperti yang pernah dikatakan Darmaningtyas, “Sekolah lebih banyak menghasilkan nilai angka daripada manusia seutuhnya… Mereka tidak diajarkan berpikir, hanya menghafal dan mengulang apa yang diajarkan. Pendidikan kita ibarat mesin produksi.”
Alih-alih memperkuat yang esensial, sistem lebih sibuk mendesain ulang format RPP, mengganti istilah kompetensi, atau meluncurkan platform digital yang cara loginnya saja bikin frustrasi. Dan entah mengapa, memastikan semua anak bisa membaca dengan baik selalu terasa lebih sulit dibandingkan mencetak buku kurikulum edisi terbaru. Tapi ya, gitu deh. Kalau tidak ganti kurikulum, proyek jadi tipis. Dan kalau proyek tipis, siapa nanti yang tersenyum di tender?
Tentu kritik ini bukan sekadar nyinyir kosong. Kita paham, pendidikan bukan urusan mudah, dan tidak semua bisa diselesaikan dengan satu kurikulum ajaib. Tapi setidaknya, kita bisa mulai dengan membangun silabus dasar yang masuk akal dan manusiawi untuk jenjang SD—yang tak bergantung pada menteri siapa yang duduk di kursi, atau proyek apa yang sedang dilelang. Misalnya: anak SD cukup dibekali kemampuan membaca dengan pemahaman, berhitung praktis untuk kebutuhan sehari-hari, kemampuan menulis dan bercerita, pemahaman lingkungan sekitar, serta nilai-nilai hidup bersama seperti kejujuran, gotong royong, dan empati. Tak perlu 13 mata pelajaran dalam seminggu. Tak perlu modul digital jika listrik saja masih byar-pet. Yang penting, ada fondasi berpikir dan bertindak yang kuat, agar anak bisa tumbuh menjadi manusia utuh—bukan sekadar lulus ulangan tengah semester.
Seperti kata Ivan Illich, “Most learning is not the result of instruction. It is rather the result of unhampered participation in a meaningful setting.” Anak-anak butuh ruang yang bermakna, bukan hanya ruang kelas yang sibuk mengejar angka KKM. Dan guru-guru tak perlu ditekan dengan administrasi berlapis, cukup diberi ruang untuk mengajar dengan hati dan akal sehat.
Pada akhirnya, kita perlu bertanya dengan jujur dan tanpa basa-basi: untuk siapa sebenarnya sistem pendidikan ini dibangun? Jika jawabannya adalah “untuk anak-anak,” maka seharusnya keputusan-keputusan besar—dari kurikulum, pelatihan guru, hingga anggaran—berpusat pada kebutuhan nyata mereka, bukan pada ego pejabat, bukan pada proyek jangka pendek, dan bukan pada laporan penuh jargon yang tak menyentuh ruang kelas. Karena anak-anak tidak butuh kurikulum sakti; mereka butuh guru yang didengar, ruang belajar yang aman, dan sistem yang tidak memperlakukan mereka sebagai angka di lembar Excel. Dan jika hari ini lulusan SD masih banyak yang tak mampu membaca dengan baik atau berpikir mandiri, mungkin bukan mereka yang gagal belajar—tapi kita yang gagal berpikir.
Join the conversation