Selamat Datang di Malas Nulis

Pinjam 100 M Cukup? Cukup untuk Siapa?

Baru-baru ini, pemerintah kabupaten Ponorogo memutuskan satu langkah besar: meminjam Rp 100 miliar ke Bank Jatim. Alasan resminya terdengar wajar...

Baru-baru ini, pemerintah kabupaten Ponorogo memutuskan satu langkah besar: meminjam Rp 100 miliar ke Bank Jatim. Alasan resminya terdengar wajar. Jalan-jalan kabupaten banyak yang sudah rusak, aspalnya mengelupas seperti janji lama yang belum ditepati. Dana dari pusat katanya makin seret, entah karena prioritas yang berubah, entah karena birokrasi yang selalu lambat. DPRD pun sepakat. Semua sepakat. Sebab siapa yang berani menolak rencana pembangunan, terutama kalau labelnya “demi rakyat”?

Tapi kita ini rakyat yang sudah terlalu sering menyaksikan angka-angka besar ditulis di baliho, kemudian perlahan-lahan hilang dari kenyataan. Angka 100 miliar memang kelihatan menenangkan, seolah bisa menyelesaikan semua persoalan aspal yang retak dan trotoar yang menyedihkan. Tapi kalau mau berpikir lebih pelan, angka itu sesungguhnya tidak terlalu tebal, apalagi bila dipecah menjadi banyak ruas, banyak paket proyek, banyak lapis birokrasi.

Coba Kita Hitung Pelan-Pelan

Mari kita berhitung. Jalan hotmix kabupaten kualitas sedang kira-kira menelan biaya sekitar empat miliar rupiah per kilometer. Dengan 100 miliar, paling banter kita dapat 25 kilometer jalan yang benar-benar layak. Itu kalau semuanya lurus. Kalau tidak ada hujan yang memundurkan jadwal, tidak ada tambal sulam yang sekadar memoles permukaan, dan—ini yang paling sulit—kalau tidak ada potongan-potongan yang seringkali disebut sebagai “koordinasi” atau "cashback".

Sebab dalam banyak kisah, yang kadang hanya disebut umpama, konon setiap proyek bernilai besar jarang benar-benar bebas dari jalur samping. Ada biaya tender yang katanya untuk memastikan kelancaran, ada fee yang konon menjadi syarat tidak tertulis, ada potongan per termin yang katanya untuk “perhatian,” “komunikasi,” atau “pengamanan.” Kalau kita menengok laporan Badan Pemeriksa Keuangan[1], membaca kajian ICW[2], atau sekadar mendengar pengakuan mantan kontraktor yang sudah berhenti main proyek, rata-rata angka yang disebut berkisar lima sampai lima belas persen dari nilai kontrak.

Umpama saja itu benar, maka dari 100 miliar, setidaknya lima sampai lima belas miliar rupiah sudah punya nasib sendiri. Tidak akan pernah berubah wujud menjadi aspal. Tidak akan pernah muncul di laporan progres pekerjaan. Tidak akan pernah tercatat dalam RAB. Ia hanya akan berpindah kantong, mungkin dengan alasan yang terdengar indah: demi sinergi, demi kelancaran, demi kebersamaan.

Yang Rusak Bukan Cuma Aspal

Ironisnya, nanti kita yang akan membayar cicilan itu, tidak ikut mencicipi manisnya setoran diam-diam. Kita cuma dapat jalan yang umur pakainya kadang tidak lebih panjang dari masa jabatan pejabat yang meresmikannya. Kita hanya bisa menebak-nebak, apakah jalan yang dibangun dengan utang sungguh-sungguh diniatkan untuk memudahkan hidup rakyat, atau sekadar memudahkan alur dana yang selama ini dianggap wajar.

Lalu pertanyaannya tetap sama: seratus miliar ini akan cukup untuk siapa? Cukup untuk kontraktor yang sudah siap “berbagi,” cukup untuk pejabat yang merasa berhak mendapat bagian, cukup untuk segelintir orang yang menganggap pembangunan itu kesempatan mengamankan masa depan sendiri? Atau benarkah cukup untuk rakyat yang setiap hari mengguncang tulang punggung di jalan berlubang, yang sabar membayar pajak, yang hanya ingin jalannya diperbaiki tanpa harus mendengar cerita uang pelicin?

Ah, Itu 'kan hanya Umpama...

Kalau nanti jalan yang diperbaiki panjangnya tak sesuai brosur, atau kualitasnya hanya sedikit lebih baik dari jalan setapak, mungkin kita bisa menenangkan diri dengan satu kalimat: ah, mungkin semua ini cuma umpama. Mungkin hanya cerita yang entah siapa yang pertama kali memulainya. Tapi kalau cerita yang sama terus berulang, kita pun paham bahwa yang rusak bukan cuma aspal. Kepercayaan juga bisa aus, sedikit demi sedikit, sampai akhirnya tak bisa ditambal lagi.

Semoga Ponorogo tidak seperti cerita umpama di atas...

f1dh

Catatan Kaki dan Sumber Rujukan

  1. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI)Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2022. Temuan ketidaksesuaian volume pekerjaan dan mark-up harga pengadaan jalan daerah.
    bpk.go.id
  2. Indonesia Corruption Watch (ICW)Laporan Tren Korupsi Pengadaan Barang/Jasa 2018–2022. Rata-rata potensi fee proyek (kickback) berkisar 5–15% dari nilai kontrak.
    antikorupsi.org
  3. Majalah TempoProyek Jalan dan Uang Pelicin, Edisi Investigasi 2021. Laporan praktik setoran tender dan pembagian jatah proyek jalan.
    tempo.co
  4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Pernyataan resmi dalam berbagai rilis pers tentang pola korupsi pengadaan barang/jasa.
    kpk.go.id