Pendidikan Kita Sedang Tidak Baik-baik Saja
![]() |
Ilustrasi sekolah rakyat versus sekolah negeri |
Tahun ajaran baru 2025/2026 diwarnai kenyataan getir: dari 56 SMP negeri di Ponorogo, hanya 11 yang berhasil memenuhi pagu penerimaan siswa baru. Artinya, mayoritas sekolah negeri kekurangan murid. Namun, pada saat yang sama, pemerintah pusat justru sibuk meluncurkan program baru bertajuk Sekolah Rakyat—sebuah sistem pendidikan berasrama bagi anak-anak miskin ekstrem yang didanai penuh oleh negara.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan yang layak diajukan: mengapa negara memilih membangun sekolah baru dari nol, saat sekolah yang sudah ada justru kekurangan dukungan dan perlahan ditinggalkan?
Antara Niat Baik dan Realita Aneh
Sekilas, Sekolah Rakyat tampak seperti niat baik yang mulia. Program ini menyasar anak-anak dari keluarga miskin ekstrem, menyediakan fasilitas lengkap mulai dari tempat tinggal, makanan, seragam, hingga laptop. Dalam tahap awal, program ini akan digelar di 100 lokasi dan menampung sekitar 10.000 siswa.
Namun niat baik tidak cukup jika tidak disertai akal sehat kebijakan. Program ini menyedot anggaran awal sebesar Rp 2,33 triliun. Itu berarti, untuk 10.000 siswa, negara membelanjakan sekitar Rp 233 juta per anak pada tahun pertama. Bandingkan dengan anggaran BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk sekolah negeri yang hanya sekitar Rp 1–2 juta per siswa per tahun.
Jadi pertanyaannya sederhana: apakah ini cara paling bijak dan efisien untuk memperbaiki akses pendidikan?
Solusi Parsial, Masalah Sistemik
Alih-alih memperkuat sistem sekolah negeri yang sudah ada dan terbuka untuk semua kalangan, negara memilih membuat sistem baru yang eksklusif untuk sebagian kecil penduduk. Ini bukan hanya tidak efisien, tapi juga berpotensi menciptakan ketimpangan baru.
Padahal, dengan anggaran Rp 2,33 triliun, negara bisa:
- Memberikan subsidi penuh kepada ratusan ribu siswa miskin di sekolah negeri,
- Merenovasi infrastruktur sekolah yang mulai rapuh,
- Membangun sistem asrama kecil berbasis sekolah negeri pinggiran,
- Menambah jumlah guru berkualitas di daerah terpencil.
Semua itu bisa dilakukan tanpa membangun institusi baru, tanpa tumpang tindih birokrasi, dan tanpa membuat anak-anak miskin terasa ‘dipisahkan’ dari sistem utama.
Inilah mengapa kritik Paulo Freire menjadi relevan dalam konteks ini. Dalam Pedagogy of the Oppressed, Freire menulis:
“The oppressors do not favor promoting the community as a whole, but rather selected leaders.”
“Kaum penindas tidak menyukai kemajuan masyarakat secara menyeluruh, melainkan hanya memilih beberapa tokoh untuk diangkat.”
Pemerintah tidak sedang memperbaiki sistem secara menyeluruh, tapi justru menciptakan program terpisah untuk kelompok tertentu—sekaligus membiarkan sistem umum (sekolah negeri) berjalan pincang. Ini bukan transformasi, tapi seleksi. Bukan keadilan, tapi diferensiasi yang dikemas dengan jargon sosial.
Kecurigaan yang Tak Bisa Diabaikan
Di negara dengan rekam jejak korupsi yang tinggi, publik berhak curiga. Proyek baru, terutama yang skalanya besar dan mendesak, selalu menyisakan celah—entah di tahap perencanaan, pengadaan, atau pelaksanaan.
Dari pembangunan gedung, pengadaan alat, pengelolaan asrama, hingga pencairan bantuan per siswa, terlalu banyak titik rawan yang bisa dimanfaatkan secara tidak etis. Dan celakanya, ini bukan prasangka. Ini cerminan pengalaman.
Jadi saat pemerintah membanggakan program Sekolah Rakyat, publik tak sepenuhnya terpukau. Yang muncul justru pertanyaan: siapa yang benar-benar diuntungkan? Apakah benar ini demi anak miskin, atau ada skema proyek yang lebih menguntungkan di baliknya?
Yang Lama Ditinggalkan, Yang Baru Dirayakan
Kondisi sekolah negeri hari ini bukan hanya tentang kekurangan murid, tapi tentang kehilangan dukungan. Sementara itu, Sekolah Rakyat tampil seperti panggung baru yang mewah—dengan label sosial, angka anggaran yang mencolok, dan narasi penyelamatan kaum miskin.
Namun jika program ini berdiri tanpa memperbaiki sistem pendidikan yang sudah ada, maka kita sedang menciptakan ironi yang nyata: negara merayakan wajah baru pendidikan sambil membiarkan wajah lamanya pudar tanpa perlawanan.
Penutup
Kita semua ingin anak-anak miskin mendapat pendidikan yang layak. Tapi membangun sistem baru yang mahal dan terbatas bukanlah satu-satunya cara. Bahkan bisa jadi itu cara yang paling mahal dan paling tidak adil.
Seperti diingatkan Freire:
“Washing one’s hands of the conflict between the powerful and the powerless means to side with the powerful, not to be neutral.”
“Mencuci tangan dari konflik antara yang berkuasa dan yang tertindas berarti berpihak pada yang berkuasa, bukan bersikap netral.”
Dengan membiarkan sekolah negeri kehilangan daya, lalu membangun sistem alternatif yang terpisah, negara tidak sedang netral. Negara sedang memilih untuk tidak menyelesaikan akar persoalan.
Join the conversation