Ketika Media Berbondong-bondong Meniru Suara Karya
Bagi keluarga kecil seperti kami, koran bekas itu bukan cuma alat penahan dingin, tapi juga satu-satunya jendela ke dunia luar. Dari potongan halaman yang menempel di tembok, saya mengenal kata “peresmian,” “apel pagi,” “rapat koordinasi,” dan “kunjungan kerja.”
Saat itu, saya belum tahu apa arti semua itu. Yang saya tahu: koran-koran itu tampak sangat yakin dengan apa yang mereka sampaikan. Tak ada yang tampak perlu dipertanyakan.
Belakangan saya tahu, beberapa di antaranya adalah Suara Karya, koran yang pada masa Orde Baru menjadi pengeras suara pemerintah dan partai penguasa.
Ironisnya, apa yang dulu kita sebut “koran corong kekuasaan,” hari ini perlahan menjelma dalam rupa baru yang lebih canggih, lebih halus, dan lebih sulit dikenali.
Koran yang Menjadi Papan Pengumuman
Jika kita telusuri kembali edisi-edisi Suara Karya di tahun 80-an atau 90-an, akan kita temui pola yang cukup mudah dikenali. Halaman depan biasanya diisi berita-berita resmi, lengkap dengan nama lengkap pejabat, jabatan, dan lokasi kegiatan.
Apakah itu peresmian jalan baru, apel bendera, pembagian bantuan, atau penandatanganan nota kesepahaman—semuanya disampaikan dengan nada penuh penghormatan.
Setiap peristiwa dikisahkan seperti pencapaian. Setiap pejabat digambarkan sebagai pemimpin bijaksana.
Jika ada kritik, bentuknya bukan liputan, tapi kutipan kecil yang segera disusul dengan klarifikasi.
Dalam dunia seperti itu, media tak berfungsi sebagai pengawas kekuasaan. Ia lebih mirip pelengkap administrasi.
Hari Ini: Jurnalisme Masih Hidup, Tapi Dibelai oleh Kekuasaan
Hari ini, koran mungkin sudah jarang ditempel di tembok. Tapi narasi yang mirip Suara Karya masih beredar luas—hanya saja kini lewat layar ponsel.
Berita peresmian masih menjadi sajian utama, dikemas dalam gaya yang lebih instagramable: infografis, kutipan manis, dan judul yang terdengar ringan.
Liputan mendalam digantikan oleh transkrip konferensi pers. Investigasi digeser oleh opini yang “ramah kekuasaan.”
Media tidak sepenuhnya berubah menjadi alat propaganda, tapi banyak yang makin jinak.
Dan semua itu sering dibungkus dalam nama yang terdengar sopan: netralitas editorial, media pembangunan, atau jurnalisme damai.
Antara Pengaruh, Tekanan, dan Dugaan Pengondisian
Di ruang redaksi, keputusan berita tidak selalu lahir dari pertimbangan jurnalistik murni.
Ada pertanyaan:
- Apakah berita ini akan merusak relasi dengan pengiklan besar?
- Apakah pejabat tertentu akan tersinggung?
- Apakah ini akan memicu teguran dari pihak yang “berwenang?”
Kita tidak bisa serta-merta menuduh semua media sudah dipesan. Tetapi tanda-tanda pengondisian semakin sering terasa.
Beberapa media serempak mengangkat isu yang sama dengan nada seragam.
Isu tertentu sepi liputan.
Opini kritis ditolak dengan alasan “belum waktunya.”
Fenomena semacam ini bukan kabar bohong terang-terangan, tapi penjinakan yang berlangsung perlahan.
Dan justru karena pelan dan rapi, ia lebih sulit disadari.
Masih Ada yang Bertahan dengan Sunyi
Namun, kita juga tak bisa menutup mata: ada media yang tetap memilih jalan sunyi.
Media yang percaya jurnalisme adalah tugas menjaga akal sehat publik. Yang tetap berpegang pada kode etik jurnalistik dan 9 elemen jurnalisme.
Mereka tidak berlomba menjadi yang paling cepat, paling ramai, atau paling dekat dengan penguasa.
Mereka lebih suka menyajikan laporan yang teliti, meski tak selalu viral. Membuka ruang suara minoritas, meski tidak mengundang banyak iklan.
Media semacam ini tidak banyak. Tapi keberadaan mereka membuktikan bahwa jurnalisme belum mati. Masih ada yang mau menulis dengan nurani, meski tak selalu disorot lampu panggung.
Mewarisi Suara Karya Tanpa Disadari
Generasi setelah 1998 mungkin tidak pernah membaca Suara Karya secara langsung. Tapi banyak dari kita hidup di tengah media yang perlahan menyerupai semangat lama: rapi, sopan, tak mau membuat gaduh.
Kita menyebutnya portal berita modern. Kita bangga karena tampilannya profesional. Tapi jika isinya hanya meneguhkan narasi resmi, bukankah itu sekadar Suara Karya versi baru?
Bedanya hanya bungkus. Semangatnya sama: menghindari pertanyaan sulit, menolak perspektif yang mengganggu kenyamanan.
Jangan Pasrah Pada Kabar yang Meninabobokan
Mungkin kita tak bisa mengubah media secara cepat. Tapi kita bisa memilih sikap.
Kita bisa menjadi pembaca yang tak puas hanya dengan judul sensasional. Kita bisa menolak tunduk pada kabar yang sengaja diracik supaya tak menimbulkan gelisah.
Karena kalau tidak, kita akan menjadi generasi yang mengulang pola lama: membiarkan berita menjadi lembar pengumuman, lalu membacanya tanpa pernah bertanya.
Dan kalau itu terjadi, kita tak hanya kehilangan jurnalisme. Kita kehilangan hak untuk berpikir sendiri.
Join the conversation