Selamat Datang di Malas Nulis

Kredit Fiktif BRI Pasar Pon dan Harun Masiku

Kasus DPO kredit fiktif BRI Pasar Pon memperlihatkan bagaimana hukum kerap hanya jadi teater. Seperti Harun Masiku, mereka seolah dicari

Dua orang tersangka kasus kredit fiktif di BRI Pasar Pon, Ponorogo, akhirnya ditangkap. Salah satunya bahkan sudah lama masuk daftar pencarian orang (DPO). Kasus ini telah merugikan keuangan negara hingga ratusan juta rupiah. Tapi bukan nilai kerugiannya yang membuat kita tergelitik.

Yang membuat bingung justru cara aparat dan media menampilkan kasus ini ke hadapan publik. Foto DPO yang katanya sudah lama “dicari”, tidak pernah benar-benar disebarkan secara masif. Di beberapa media, yang muncul hanya ciri-ciri fisik: kulit sawo matang, wajah lonjong, tinggi sekian sentimeter. Seperti pengumuman orang hilang di tiang listrik. Lalu bagaimana publik diminta membantu “mencari”?

Lebih ganjil lagi, sebagian media malah menampilkan wajah kepala kejaksaan sebagai ilustrasi utama. Bukannya foto si buron, tapi foto pejabat yang sedang duduk konferensi pers. Seolah yang selama ini dicari-cari justru beliau. Ini bukan satire. Ini kenyataan.

Dan kenyataan semacam ini tidak hanya terjadi di Ponorogo. Kita sudah pernah menyaksikan pola yang nyaris serupa dalam kasus Harun Masiku—mantan caleg yang sampai hari ini tak kunjung ditemukan keberadaannya. Atau lebih tepatnya: entah benar-benar dicari atau tidak.

Dari waktu ke waktu, publik disuguhi tayangan penegakan hukum. Ada poster DPO, ada jumpa pers, ada istilah “koordinasi antar lembaga”. Tapi satu hal yang sering hilang dari semua itu: kesungguhan. Kita tak sedang menyaksikan keadilan yang bergerak. Kita hanya sedang menonton teaternya.

Dan mungkin, sudah saatnya kita menyebut ini apa adanya.

Buron itu bukan semata orang yang kabur dari jeratan hukum. Tapi bisa jadi adalah hasil dari konsensus diam-diam antarlembaga. Ada kesepakatan informal yang tidak tertulis, bahwa batas pencarian hanya sampai pada titik tertentu—asal tidak menyentuh lingkaran kekuasaan.

...dan yang lebih aneh, kita sudah terbiasa dengan ini. Terbiasa melihat kasus yang dicari-cari penyelesaiannya, tapi tidak pernah betul-betul dikejar tuntas. Terbiasa menyaksikan sistem hukum seolah berjalan, padahal yang bergerak hanyalah simulasinya.

Dalam bahasa Ali Shariati:
“Many times, the oppressors wear the clothes of the oppressed, and the executioner hides behind the mask of justice.”
“Sering kali, para penindas menyamar sebagai orang tertindas, dan algojo bersembunyi di balik topeng keadilan.”

Ponorogo hanya satu titik kecil dalam peta besar peradilan kita. Tapi dari satu titik itu saja, kita bisa membaca keseluruhan pola. Bahwa sering kali hukum hanya menyentuh permukaan. Ia bergerak hanya selama tak mengganggu posisi orang penting. Ia menyelidiki hanya jika tidak membahayakan para pelindungnya.

Dan publik, seperti biasa, hanya dilibatkan jika keadaan sudah tidak bisa dibungkam. Saat tekanan mulai memuncak, saat suara-suara di media sosial mulai menggema, barulah ada pergerakan. Bukan karena keadilan, tapi karena citra.

Yang lebih getir lagi, sebagian media justru ikut ambil peran dalam sandiwara ini. Berita soal buron yang katanya merugikan negara, tampil seperti advertorial kejaksaan. Foto yang ditampilkan bukan wajah pelaku, melainkan pejabat yang memberi keterangan. Seolah-olah yang penting dari peristiwa hukum bukan siapa pelakunya, tapi siapa yang bicara di depan mikrofon.

Kita diminta ikut membantu mencari pelaku, tapi tak pernah disodori wajahnya. Hanya diberi deskripsi seperti teka-teki silang: kulit sawo matang, tinggi sekian, wajah lonjong. Ini pengumuman buronan atau seleksi model catwalk?

Yang muncul di ruang publik bukanlah berita, tapi representasi. Bukan informasi, tapi pamflet.

Dan inilah mengapa banyak buron bisa hidup lebih tenang ketimbang yang mengejarnya. Karena dalam banyak kasus, yang sungguh-sungguh dikejar bukanlah keadilan, tapi pencitraan.