Galian Tambang Ilegal, Rakyat Jadi Tumbal
Kadang lucu, kadang menyedihkan, melihat bagaimana tambang digali habis-habisan atas nama pembangunan, tetapi pendapatan asli daerah malah ompong. Ketika masyarakat bertanya, jawabannya selalu sama: izin dari provinsi, kewenangan pusat, seolah pemerintah daerah hanya penonton yang kebetulan kebagian pungutan retribusi. Padahal, kalau mau jujur, banyak lini kebijakan yang sebenarnya tetap berada di tangan lokal—mulai dari pengawasan sampai pengaturan pajak. Tetapi, di negeri yang rajin memungut ini, rakyat selalu lebih mudah diminta menambal lubang pendapatan daripada perusahaan tambang yang meraup untung. Bukankah itu ironi yang sudah terlalu sering kita telan mentah-mentah?
Sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 disahkan, banyak pemerintah daerah gemar mengulang kalimat yang sama setiap kali tambang dipersoalkan: itu kewenangan pusat, izin provinsi, kami tidak punya wewenang. Seolah-olah, kabupaten dan kota hanyalah pelengkap prosedur yang tak bisa berbuat apa-apa ketika truk-truk pengangkut hasil galian berlalu-lalang di jalan desa. Padahal, proses perizinan tetap bergantung pada berlapis persetujuan lokal: kesesuaian tata ruang, dokumen lingkungan, sampai urusan retribusi. Pemerintah daerah juga ikut menikmati dana bagi hasil yang mestinya memperkuat pendapatan asli daerah. Namun, kenyataannya, kenaikan pendapatan itu tidak pernah sebanding dengan kerusakan yang ditinggalkan. Dan ujung-ujungnya, rakyat juga yang diminta membayar lebih banyak pajak, seolah tambang yang menggali tanah itu hanya bayangan yang tak bisa disentuh.
Tambang, legal maupun ilegal, akhirnya menjelma menjadi pemandangan sehari-hari yang sama-sama mengundang geleng kepala. Keberadaan tambang ilegal bukan cerita gelap yang tak terendus, melainkan rahasia umum yang sengaja dibiarkan tumbuh subur. Pemerintah daerah kerap menutup mata, antara takut pada kekuatan yang membekingi, atau memang malas bersitegang dengan jaringan yang lebih kuat dari kewenangan formal. Ada yang gentar pada pemodal, oknum aparat, atau politisi yang melindungi operasi liar. Ada pula yang sekadar berpura-pura tak tahu, menunggu persoalan berlalu dengan sendirinya. Maka kerusakan lingkungan terus menganga, sungai keruh, jalan kampung rusak, sementara rakyat sibuk mengurus kewajiban pajak yang entah untuk siapa manfaat akhirnya. Di negeri yang rajin menagih ini, perusahaan tambang boleh saja meraup untung, asal rakyat tetap patuh membayar pungutan.
Atau, jangan-jangan “ilegal” yang dimaksud di sini bukan berarti tanpa izin sama sekali, melainkan sekadar tidak tertulis secara resmi—karena sudah ada ongkos bawah meja yang sengaja disembunyikan agar tak masuk kas daerah?
Join the conversation