Dua Periode untuk Mencari Pulihan

Sudah hampir menjadi ritual lima tahunan ketika rakyat kecil menerima selembar uang lima puluh ribu untuk menentukan arah nasib bersama. Bukan sekadar memilih kepala daerah atau kepala negara, tapi juga memilih siapa yang akan mengatur anggaran, meneken proyek, membagi jatah, dan menentukan siapa yang boleh sejahtera dan siapa yang harus antre bantuan sosial.
Lucunya, semua ini bukan rahasia. Sudah menjadi cerita umum—dibicarakan di warung kopi, di pinggir jalan, di sela obrolan tetangga. Orang-orang saling melempar senyum pahit sambil berkata, “Ya mau bagaimana lagi, yang lain juga terima.” Komisi Pemilihan Umum, yang seharusnya berdiri paling depan melawan politik uang, lebih sering sibuk merapikan slogan dan mencetak spanduk ketimbang benar-benar menindak. Di layar televisi, iklan ajakan “menolak politik uang” tayang berulang-ulang, diucapkan oleh wajah-wajah yang tampak serius. Tetapi di lapangan, praktik yang sama terus berulang, seolah-olah tak pernah ada konsekuensi apa-apa.
Lima puluh ribu itu memang tak seberapa, apalagi kalau dibandingkan dengan anggaran negara yang triliunan. Namun, bagi banyak orang, amplop itu menjadi pelipur lara di ujung bulan. Mereka paham itu salah, tapi perut yang lapar lebih cepat bicara daripada suara hati. Maka, uang itu diterima, pilihan sudah ditentukan, dan pada saat yang sama benih kerusakan ditanam.
Masyarakat pun tuman—terbiasa, keenakan, lalu menuntut. Jika ada calon yang tidak nyangoni, dia juga tidak dipilih, seolah-olah integritas tak pernah masuk dalam pertimbangan. Lama-lama, semua ini dianggap wajar, bagian dari “tradisi demokrasi” yang diam-diam kita rawat bersama-sama.
Risikonya tak pernah kecil. Dalam lima tahun ke depan, pelayanan pemerintahan akan setengah hati. Surat keterangan terlambat diproses. Bantuan tak sampai tepat waktu. Proyek jalan desa macet di tengah jalan karena anggaran keburu disunat. Pejabat yang merasa sudah “membeli” kursinya tak lagi punya beban moral untuk memerah kas daerah. Korupsi tumbuh subur seperti benalu yang tak pernah bosan menyedot nutrisi dari pajak rakyat yang dikumpulkan dengan susah payah.
Ironisnya, banyak yang akhirnya terbiasa. Lama-lama, korupsi bukan lagi dianggap aib, hanya urusan teknis yang kalau ketahuan harus “diselesaikan” dengan damai. Sementara itu, rakyat yang dulu rela menjual suaranya akan kembali menanggung akibat: fasilitas kesehatan yang seadanya, pendidikan yang tak memerdekakan, birokrasi yang mempersulit, harga pangan yang tak terkendali.
Dalam kerangka yang lebih besar, kita juga melihat bagaimana seorang pemimpin yang sudah dua periode menjabat seringkali menggunakan masa periode kedua bukan untuk menuntaskan janji, tetapi untuk mencari “pulihan”—mengembalikan biaya politik yang sudah habis di awal. Ini bukan cerita baru. Hanya bab lain dari buku lama yang selalu dibuka setiap lima tahun sekali. Dan ini hampir berlaku di mana-mana, bukan hanya satu atau dua daerah. Banyak pemimpin dan wakil rakyat yang, setelah dua periode berkuasa, justru semakin lihai menyamarkan kepentingan pribadi di balik bendera pelayanan publik.
Semua ini bagai lingkaran setan yang kita biarkan berputar tanpa niat sungguh-sungguh memutusnya.
Jadi sebenarnya, kesalahan ini bukan soal satu orang atau satu pihak. Ini adalah kesalahan yang sangat panjang. Dari hulu ke hilir sudah salah. Dari cara partai memilih calon berdasarkan isi tas, bukan isi kepala. Dari biaya kampanye yang begitu tinggi, yang menuntut calon “balik modal” setelah menang. Dari kebiasaan pemimpin yang, bahkan ketika sudah dua periode berkuasa, tetap sibuk mencari “pulihan” ketimbang mewariskan perbaikan. Dan dari masyarakat yang—karena terbiasa dibeli—kini bahkan merasa berhak untuk menjual suara. Semua saling terkait, saling mengunci, menciptakan lingkaran rusak yang berjalan mulus dalam bungkusan pesta demokrasi.
Dan jika kita mau jujur dan terbuka, masyarakat pun sebenarnya tidak boleh menuntut macam-macam. Karena tuntutan mereka sudah lebih dulu ditukar dengan lima puluh ribu di awal—selembar uang yang barangkali habis dalam sehari, tapi meninggalkan kerusakan yang kita bayar selama lima tahun ke depan.
“Ketidakbolehan” ini berlaku bagi semua orang, meski tak pernah tertulis di mana pun. Entah pemilih yang dengan bangga mengangkat jari bertinta, atau yang memilih golput, ujung-ujungnya sama saja. Sebab bahkan mereka yang tidak mencoblos pun sering ikut menikmati “uang saku” dari calon yang akhirnya tidak jadi. Seakan-akan tak ada celah yang bersih, tak ada sudut yang sungguh-sungguh lepas dari kebiasaan jual beli suara.
Jikapun ada yang berteriak di sosial media, melontarkan sumpah serapah atau ajakan sadar, itu hanya akan dianggap suara kodok setelah hujan—ramai sebentar, lalu tenggelam bersama kubangan yang mengering.
Semoga Ponorogo tidak seperti itu.
Join the conversation