Wahabi, Tambang dan Kerusakan Lingkungan
Semalam saya menonton diskusi di kanal YouTube Rossi, saya skip beberapa bagian agar bisa lebih cepat. Topiknya: tambang di Raja Ampat. Berat, tapi tak bisa diabaikan. Apalagi ketika yang dibicarakan bukan sekadar tanah dan batu, melainkan juga masa depan ekosistem, warisan alam, dan makna hidup bersama di bumi yang makin luka ini. Salah satu narasumbernya: Mas Ulil Abshar Abdalla. Seorang intelektual yang saya hormati. Tapi kali ini, saya harus menghela napas panjang.
Apa yang disampaikan Mas Ulil, bagi saya, terasa seperti narasi yang berusaha meredam gelombang fakta. Pendekatannya terasa tidak menyentuh inti kerusakan yang nyata. Paradigmanya tak cukup tajam, bahkan terkesan melompat-lompat, seolah kerusakan lingkungan itu hanya opini, bukan realita yang telah mengendap lama di tanah, air, dan tubuh manusia.
Saya tetap hormat pada Mas Ulil, tentu saja. Tapi dengan segala kerendahan hati, saya belum menemukan satu pun tokoh dari PBNU yang betul-betul memiliki sensitivitas ekologi yang memadai, yang mampu berbicara tentang tambang dan lingkungan dengan jujur, tanpa terdorong oleh kepentingan struktural atau narasi besar yang sudah usang. Yang berpihak, bukan karena posisi, tetapi karena nurani.
Saya membayangkan suatu hari Mas Ulil duduk satu meja dengan Savic Ali dalam forum terbuka, berbincang tanpa pretensi. Bukan untuk mencari siapa yang paling benar, tapi untuk menguji seberapa jauh keberpihakan bisa menyentuh nurani, bukan sekadar argumen.
Saya bisa memahami posisi Mas Ulil saat ini. Ketika lembaga yang ia bela ikut menikmati konsesi tambang, wajar jika narasi yang ia bangun terdengar lebih ramah terhadap industri ekstraktif. Tetapi mari kita jujur: jika PBNU tidak sedang menjadi bagian dari distribusi “berkah tambang”, apakah Mas Ulil akan tetap bersikap sama? Saya ragu. Bahkan, saya tak yakin tagar #SaveRajaAmpat sempat mampir dalam pikirannya jika kondisinya berbeda.
Kita harus mulai menyadari bahwa data, riset, dan fakta tentang kerusakan lingkungan bukan semata suara-suara histeris. Mereka adalah penanda bahwa bumi kita tidak baik-baik saja. Maka, sangat disayangkan ketika suara-suara kritis itu justru dilabeli sebagai “menakut-nakuti”. Lebih parah lagi, ketika ada yang menyebut mereka sebagai “Wahabi lingkungan”.
Istilah ini—"Wahabi lingkungan"—apa artinya sesungguhnya? Jika karena bersikap tegas terhadap kerusakan disebut Wahabi, lalu bagaimana kita mendefinisikan keberpihakan? Ironisnya, salah satu anggota dewan penasihat Greenpeace adalah Inayah Wahid, putri Gus Dur. Bahkan Gusdurian yang digerakkan Alissa Wahid juga lantang bicara soal lingkungan. Jadi sebenarnya, ini bukan soal ideologi, tapi soal integritas.
Apakah kita benar-benar ingin menutupi fakta bahwa industri tambang meninggalkan lubang yang tak bisa disembuhkan? Atau kita sedang terjebak dalam logika ‘kemajuan’ yang tak mau melihat kerusakan sebagai harga yang terlalu mahal?
Saya kira jauh lebih bermanfaat bila para pembela tambang bisa menunjukkan satu saja bukti kesuksesan reboisasi, atau pemulihan lingkungan pascatambang yang benar-benar tuntas. Tapi sampai hari ini, kita hanya mendengar janji dan melihat kerusakan yang abadi.
Mari kita pisahkan secara jernih: keindahan alam adalah anugerah Tuhan, sedangkan tambang adalah keputusan manusia. Keindahan alam hadir tanpa syarat, tambang datang dengan ongkos ekologis yang sangat mahal. Tak sepatutnya kita menyamakannya. Itu seperti menyamakan bunga dengan buldoser.
Label “Wahabi lingkungan” bagi saya justru mencerminkan ketidakmauan untuk berpikir jernih. Memberi peringatan tentang krisis iklim bukanlah alarmisme. Menakut-nakuti adalah ketika seseorang berkata “Indonesia bubar tahun 2030” tanpa data yang kuat. Tapi bicara soal suhu bumi yang naik, ekosistem yang hancur, dan masyarakat adat yang terusir, itu bukan histeria, itu kenyataan.
Dan kenyataan itu semakin jelas ketika kita melihat bagaimana industri ekstraktif di Indonesia berjalan hari ini. Apakah benar tambang membawa kita ke arah kemajuan? Atau justru membawa kita menjauh dari keadilan sosial dan ekologis? Industri ekstraktif kini lebih tunduk pada logika pasar dan investasi global ketimbang kepentingan rakyat. Ini bukan teori, tapi kecenderungan nyata.
Bahkan di masa Orde Baru yang otoriter, ketika tambang belum menjadi primadona seperti sekarang, kerusakan ekologis belum separah hari ini. Kini, ketika semua berlomba-lomba menambang, dari ujung Papua hingga jantung Kalimantan, alam kita sudah sampai di titik nadir. Sumber daya yang dulu disebut "berkah", kini perlahan menjadi malapetaka.
Dan malapetaka ini bukan hanya soal tanah yang rusak. Ia menyentuh jantung kehidupan: pertanian gagal, udara kotor, sungai mati, spesies menghilang, dan manusia kehilangan tanah pijaknya. Jika ini semua ditolak oleh aktivis lingkungan, lalu apa salahnya? Di mana ekstremismenya?
Yang jauh lebih ekstrem adalah membenarkan kematian ribuan jiwa akibat konflik tambang. Lebih ekstrem lagi adalah ketika kerusakan dilegalkan atas nama pembangunan. Kita harus bertanya kembali: pembangunan untuk siapa? Kemajuan macam apa yang harus dibayar dengan kehilangan masa depan anak cucu?
Riset dan data yang ada sangat jelas: industri ekstraktif entah nikel, batu bara, emas, atau yang lainnya merusak secara sistemik. Tak hanya lingkungan, tapi juga struktur sosial, budaya, dan relasi antarwarga. KH Ali Yafie dalam karyanya “Fiqh Lingkungan Hidup” pernah menyampaikan bahwa tambang di seluruh Indonesia menciptakan kerusakan besar. Ucapan itu tidak lahir dari retorika, melainkan dari pengamatan mendalam.
Kini, saat kita bicara soal tambang, mari jangan lagi bersembunyi di balik narasi besar. Mari jujur pada kenyataan kecil yang sehari-hari: air yang keruh, sawah yang mati, udara yang sesak, dan warga yang terusir. Alam adalah anugerah, benar. Tapi tambang, jika tidak dikendalikan, adalah kerakusan yang dilegalkan.
Jangan biarkan kita menjadi umat yang lupa bahwa bumi ini titipan, bukan warisan. Dan warisan yang rusak bukanlah berkah. Itu adalah peringatan yang tak boleh kita abaikan.
Kadang yang rusak bukan cuma hutan dan laut, tapi juga cara kita memaknai berkah.
Alam tak pernah menuntut banyak hanya perlu diperlakukan wajar. Tapi kalau kita terus merasa paling tahu arah, jangan kaget kalau nanti bumi berhenti bicara. Dan yang tersisa cuma lubang… di tanah, dan di hati.
Post a Comment