-->

Fikih Kepentingan

Dulu, ketika para kiai bicara tambang, suaranya keras. Eksploitasi alam disebut sebagai kezaliman struktural. Perusakan lingkungan dianggap sebagai dosa berjamaah. Tambang bukan berkah, tapi musibah. Apalagi kalau dampaknya menggusur warga, menghancurkan mata air, meracuni udara. Haram, titik.

Tapi itu dulu.

Sekarang, ketika tambang mulai dibagikan lewat surat keputusan, fikihnya pelan-pelan berubah. Bahasa yang dulu tegas jadi agak lentur. Retorika yang dulu penuh kecaman jadi penuh hikmah dan konteks.

Tiba-tiba tambang bukan lagi racun, tapi peluang. Bukan lagi sumber kerusakan, tapi bisa jadi sumber pahala kalau dikelola dengan baik.

Dari "Dosa" ke "Maslahat"

Kiai kita berubah. Mungkin karena realitas berubah. Atau mungkin karena posisi duduknya pindah — dari sisi oposan ke sisi pemegang izin usaha.

Dulu:
“Negara-negara kaya tambang justru jarang jadi negara maju.”

Sekarang:
“Tambang adalah potensi. Jika dikelola secara profesional, maka bisa jadi sumber kemaslahatan umat.”

Lalu, siapa yang boleh mengelola tambang?
Yang dapat izin, tentu saja. Dan kalau kebetulan yang dapat izin adalah organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, ya kita tinggal cari dalilnya. Gampang.

Fikih Bisa Nego

Fikih, dalam sejarahnya, memang bukan hukum beku. Ia hidup. Bergerak mengikuti zaman. Tapi seperti halnya air, fikih yang terlalu cair bisa tumpah ke mana-mana. Bahkan ke lubang yang sama dengan para pemilik modal.

Ketika rakyat kecil menolak tambang:
“Jangan jadi ekstremis. Ini urusan maslahat. Jangan jadi wahabi lingkungan.”

Tapi ketika organisasi besar menolak tambang:
“Ini bentuk kesadaran ekologis yang luhur. Wajib hukumnya menjaga bumi.”

Aneh? Enggak juga. Namanya juga tafsir. Tafsir itu lentur.
Dan kadang, lenturnya tergantung siapa yang pegang mic.

Dalilnya Banyak, Pilih Saja yang Cocok

Orang awam kalau mendengar dalil fikih pasti angguk-angguk. Padahal dalil-dalil itu bisa ditarik ke mana saja. Tergantung niat dan kepentingan.

Contoh kaidah yang sering dipakai:

  • Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih
    (Menolak kerusakan lebih penting daripada mengambil manfaat.)
    Tapi bisa juga dibalik: kalau manfaatnya gede, ya ambil aja — kerusakannya nanti bisa dikompensasi.
  • Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil-mashlahah
    (Kebijakan pemimpin atas rakyat harus berdasar maslahat.)
    Tapi siapa yang menentukan maslahat? Ya, pemimpinnya sendiri.
  • Al-masyaqqah tajlibut taysir
    (Kesulitan membuka jalan keringanan.)
    Misalnya: “Mengelola tambang itu sulit, makanya ormas harus turun tangan.”
    Keringanan pun datang. Bersama kontrak kerja sama.

Jangan Jadi Wahabi... Lingkungan

Istilah baru yang muncul di timeline kita: Wahabi lingkungan.
Kata mereka, jangan terlalu ekstrem dalam membela bumi. Jangan menolak tambang mentah-mentah. Itu kaku. Itu tidak sesuai dengan realitas fikih.

Padahal dulu... sikap keras pada kerusakan lingkungan itu justru dianggap bentuk tanggung jawab moral.

Sekarang: terlalu keras malah dicap ideologis.
“Agama kita itu moderat. Bahkan dalam soal tambang.”

Lalu, Siapa yang Jadi Korban?

Tentu saja, mereka yang tak punya akses. Warga desa yang sawahnya tergenang limbah. Anak sekolah yang jalannya rusak karena truk batu bara. Sungai yang dulunya bening, kini jadi keruh berwarna kopi susu.

Tapi jangan khawatir. Semua itu bisa diatasi dengan pendekatan dakwah.
“Bersabarlah. Ini bagian dari proses menuju kemaslahatan.”

Kalau perlu, nanti dibangun madrasah kecil hasil CSR. Ditulis:
“Sumbangan dari PT Tambang Syariah Berkah Sejahtera.”

Agama dan Kekuasaan: Bukan Kisah Baru

Kita tentu tidak naif. Sejak dulu, agama memang sering berdekatan dengan kekuasaan. Kadang membimbing. Kadang menempel. Kadang justru didekati demi legitimasi.

Tapi yang bikin sedih adalah ketika agama kehilangan daya kritiknya, lalu malah jadi tameng untuk bisnis besar.

Ketika fikih tak lagi jadi pembela yang lemah, tapi jadi juru bicara yang kuat. Ketika yang dulu bilang "haram", sekarang malah promosi "syariah mining".

Penutup yang Tidak Menutup

Bukan berarti tambang selalu salah. Bukan berarti fikih tidak boleh berkembang.
Tapi saat fikih mulai terlalu akrab dengan kekuasaan dan proyek, kita perlu pasang alarm.

Karena kadang…
yang disebut maslahat itu cuma kata lain dari “kita dapat bagian juga.”

Karena fikih yang baik seharusnya tak bisa dinego.
Tapi kalau bisa dinego, setidaknya jujurlah pada kami:
Ini bukan soal dalil. Ini soal siapa yang sedang pegang palu.

Tapi tak perlu khawatir. Selama izin tambang lengkap, AMDAL bisa dinego, dan dalil bisa dibaca ulang, semuanya bisa dibingkai sebagai maslahat. Kita tinggal ganti label: dari kerusakan menjadi keberkahan, dari alih fungsi menjadi ijarah.

Saya pernah baca kaidah lama—tapi mungkin sudah nylempit di pojokan kitab yang debunya dua senti. Tulisan arabnya juga sudah kabur. Kira-kira bunyinya begini:

إذا اجتمع الحلال والحرام، غلب الحرام

Ya tapi kan... itu dulu. Sekarang, banyak hal bisa dinegosiasikan—termasuk dalil.

Baca Juga :-
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART