Pesta Rakyat, Harga Sultan: Grebeg Suro Edisi Mandiri
Grebeg Suro dan Polemik Tiket
Grebeg Suro di Ponorogo telah lama dikenal sebagai perayaan budaya yang meriah dan membanggakan. Namun, menjelang perayaan tahun 2025, keluhan soal mahalnya harga tiket kembali mencuat ke permukaan. Beberapa warga menilai bahwa Grebeg Suro kini bukan lagi pesta rakyat, melainkan pertunjukan eksklusif yang tidak semua orang bisa hadiri.
Pertanyaannya kemudian: apakah keluhan ini beralasan? Atau justru keliru menempatkan tanggung jawab?
Kebutuhan Anggaran dan Realitas di Lapangan
Berdasarkan informasi yang beredar, penyelenggaraan Grebeg Suro tahun ini membutuhkan dana sekitar Rp 5,7 miliar, sementara dana dari APBD hanya berkisar Rp 350 juta. Itu artinya, mayoritas kebutuhan acara harus dipenuhi melalui sumber lain: sponsor, kerja sama pihak ketiga, dan—salah satunya—penjualan tiket masuk.
Harga tiket Grebeg Suro 2025 bervariasi, mulai dari kategori reguler seharga Rp 35.000 hingga tiket VIP dan terusan yang bisa mencapai angka yang lebih tinggi. Untuk beberapa kalangan, ini mungkin bukan masalah besar. Namun bagi sebagian warga, terutama mereka yang berada di kelas menengah ke bawah, angka tersebut tetap menjadi beban.
Pesta Rakyat yang Kian Tidak Merakyat?
Banyak warga merasa acara budaya ini semakin terasa jauh dari mereka. Dulu, mereka bisa menyaksikan seluruh rangkaian acara secara terbuka, tanpa harus memikirkan tiket. Sekarang, beberapa di antara mereka hanya bisa menonton dari luar pagar, atau bahkan memilih tidak datang sama sekali.
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah perayaan budaya yang dibiayai secara mandiri harus mengorbankan keterlibatan masyarakat?
Mencari Jalan Tengah: Solusi yang Mungkin
Daripada terjebak dalam saling menyalahkan antara pemerintah dan masyarakat, mungkin yang dibutuhkan adalah pendekatan yang lebih solutif. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan antara lain:
1. Skema Subsidi Silang
Tiket VIP dan terusan dengan harga lebih tinggi dapat dirancang agar sebagian keuntungannya dialokasikan untuk mensubsidi tiket reguler, atau bahkan menyediakan kuota tiket gratis bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
2. Transparansi Penggunaan Dana
Pemerintah dan panitia penyelenggara sebaiknya membuka data pembiayaan dan alokasi dana kepada publik. Transparansi ini akan membantu masyarakat memahami bahwa penyelenggaraan acara berskala nasional memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
3. Optimalisasi Dana CSR dan Sponsor Lokal
Menggandeng pelaku usaha lokal atau korporasi yang memiliki program tanggung jawab sosial (CSR) dapat membantu menekan harga tiket. Ini juga sekaligus menguatkan kolaborasi antara sektor usaha dan pelestarian budaya.
4. Pelibatan Komunitas Lokal
Pemerintah dapat membuka lebih banyak ruang partisipasi bagi komunitas seni dan budaya lokal, yang bersedia tampil tanpa biaya besar, demi menjaga semangat Grebeg Suro sebagai ajang kebersamaan, bukan sekadar tontonan profesional.
Mengembalikan Grebeg Suro ke Pelukan Masyarakat
Grebeg Suro bukan sekadar agenda tahunan. Ia adalah simbol. Sebuah warisan budaya yang hidup dari keterlibatan dan kebanggaan masyarakat. Oleh karena itu, upaya menjaga kualitas pertunjukan tidak boleh mengorbankan akses masyarakat terhadap budaya mereka sendiri.
Jika biaya tinggi adalah konsekuensi dari penyelenggaraan mandiri, maka perlu dirancang strategi agar masyarakat tetap bisa menikmati, tanpa merasa tersingkirkan. Profesionalisme tidak harus mengasingkan. Sebaliknya, dengan pengelolaan yang terbuka dan kolaboratif, justru akan memperkuat rasa memiliki seluruh elemen masyarakat terhadap tradisi ini.
Akhirnya...
Grebeg Suro tidak boleh kehilangan makna dasarnya: sebagai ruang kebudayaan yang terbuka, meriah, dan membanggakan bagi siapa saja. Pemerintah, panitia, pelaku seni, hingga masyarakat, semua memiliki peran. Jika benar ingin menjaga Grebeg Suro sebagai milik bersama, maka setiap suara—termasuk yang mengeluh soal tiket—perlu didengar, dipahami, dan dijawab dengan kebijakan yang bijak.
Budaya bukan barang dagangan. Ia adalah warisan yang hidup karena dirawat bersama
Karena tradisi itu bukan soal panggungnya megah, tapi siapa yang masih boleh duduk di depannya—tanpa harus jual motor dulu buat beli tiket.
Post a Comment