Ponorogo Sedang Berusaha Bahagia :)
Ponorogo sedang ramai. Lampu-lampu dipasang, panggung dibangun, dan orang-orang berdatangan. Ada yang jualan, ada yang selfie, ada juga yang sekadar ikut arus sambil mengunyah cilok rasa perjuangan.
Grebeg Suro, katanya. Tradisi tahunan yang sakral, megah, dan penuh kebanggaan budaya. Tapi buat sebagian warga, ini juga waktu yang pas buat jalan-jalan, cuci mata, atau sekadar numpang bahagia di tengah hidup yang belum tentu membaik—dan UMR yang embohlah, pokok ngono kui.
Ponorogo sedang berusaha bahagia.
Dan kita, sebagai warga yang baik hati dan tidak sombong, ikut gak kelingan—atau bahkan ethok-ethok gak kroso—kalau jalan ke lokasi acara harus melewati barisan lubang-lubang yang sabar menunggu korban. Kadang lubangnya saling berdampingan, seperti sahabat karib yang tak terpisahkan—atau seperti barisan anak-anak pramuka yang masih belajar baris-berbaris: belum rapi, tapi niatnya sudah kompak bikin repot.
Tapi mari kita tarik napas sebentar, sambil rodok sabar, ojo emosi.
Lubang-lubang itu seperti alarm notifikasi—tanda bahwa di sekitar kita ada banyak tambang pasir. Sayangnya, sebagian—atau mungkin malah sebagian besar—dari galian C itu ilegal. Kita tahu, tapi sering kali memilih diam, atau minimal pura-pura tanya: “Lah, kuwi legal ta?” padahal sudah tahu jawabannya.
Ironisnya, hasil dari galian itu kadang malah dipakai buat nutup jalan rusak. Jadi begini: kita keruk bukit, ambil isinya, terus kita pakai buat nutup (sementara, dong) jalan yang rusak karena jebol oleh truk pengangkut pasir yang berlalu-lalang dari bukit yang dikeruk tadi.
Sebuah siklus cinta yang menyakitkan.
Di sisi lain, acara tetap berlangsung meriah. Reog tampil gagah, warok dan bujang ganong menari dengan semangat. Di panggung-panggung, doa-doa dipanjatkan, semangat ditularkan, dan harapan digantungkan tinggi-tinggi, setinggi impianmu menjadi presiden RI.
Tapi setelah semua lampu padam dan spanduk diturunkan, kita tetap harus pulang lewat jalan yang sama: berlubang, gelap, dan kadang licin kalau hujan.
Mungkin beginilah cara kita hidup di kota kecil ini. Kita rayakan budaya dengan penuh suka cita, sambil tetap membiarkan kenyataan bolong di sana-sini. Kita tahu ada yang salah, tapi kita juga kesel pegel terus-terusan.
Toh, kita masih bisa tertawa. Masih bisa bercanda soal lubang jalan di grup WA Konco ngopi. Masih bisa berdoa sambil ngopi di angkringan pinggir jalan, berharap lubang-lubang itu segera ditambal—entah oleh pemerintah, entah oleh semesta,
atau oleh relawan, yang kadang kala setengah hati, dan relawannya sekarang sudah mepet ke bupati.
Post a Comment