Sisi Gelap Pesantren di Ponorogo yang Tidak Diketahui Banyak Orang
Dari Mushola Mini ke Benteng Takeshi
“Pondok ini, dulunya, dibangun dengan cara gotong royong bersama masyarakat, kini masyarakat hanya bisa menonton dari balik tembok.”
—seorang warga di pinggiran pesantren
Di Ponorogo, pesantren bukan sekadar tempat menuntut ilmu. Ia adalah simbol peradaban, warisan para wali, dan penanda bahwa suatu kampung masih punya napas keislaman. Namun, di balik romantisme itu, ada cerita lain yang jarang disuarakan—cerita tentang bagaimana sebagian pesantren (ya, sebagian, tapi jumlahnya cukup banyak) berubah dari pusat kehidupan warga menjadi menara gading yang menutup diri.
Dulu: Disengkuyung Bersama
Awalnya, pesantren didirikan dengan semangat gotong royong. Warga menyumbang batu bata, kayu, bahkan tenaga. Santri tidur di rumah-rumah penduduk, makan bersama, dan kadang-kadang ikut memanen padi. Pesantren bukan institusi yang berdiri di atas warga, tapi tumbuh bersama mereka.
Namun, waktu berjalan, jumlah santri bertambah, bangunan menjulang. Dan seperti jamur di musim penghujan, tembok-tembokpun ikut bediri...tinggi.
Kini: Ditembok Rapat
Ada yang bilang, “Tembok tinggi untuk keamanan.” Ya, ini tidak salah untuk melindungi para santri dari hal-hal yang tidak diinginkan dan mencegah mereka keluar tanpa izin. Tapi disis lain, yang terasa, warga tak lagi bisa sembarangan masuk. Lapangan tempat anak-anak bermain kini jadi lahan parkir bus santri, atau menjadi lahan terbatas milik lembaga. Gang kecil diubah jadi akses privat. Bahkan warung mbok Darmi, misalnya, —yang dulu laris karena jajan santri—pelanggannya habis setelah kantin besar berdiri dalam kompleks.
Ironis. Dari disengkuyung menjadi disingkirkan.
Dari Masjid Bersama Jadi Milik Lembaga
Ini bagian yang paling menggores nurani: Ada masjid yang dulunya dibangun warga bersama—pakai iuran, tenaga gotong royong, bahkan kerja bakti tiap pekan—tiba-tiba secara sepihak menjadi masjid milik pesantren.
Tanpa musyawarah. Tanpa pamitan. Tahu-tahu, pengurus masjid diganti, jadwal imam diubah, dan warga hanya bisa salat di serambi karena "masjid ini sekarang untuk kegiatan santri".
Tanah dan Langit yang Menghilang
Perluasan pesantren sering kali merampas pelan-pelan ruang hidup warga. Tak selalu dengan kekerasan, tapi dengan cara halus: bujuk rayu harga murah, tekanan sosial, atau sekadar “sudah tidak nyaman lagi tinggal di sebelah pagar tinggi.” Tanah pekarangan jadi asrama. Jalan setapak jadi jalan motor para santri. Sisa ruang hijau berubah jadi pagar beton.
Bagi warga, pesantren bukan lagi rumah besar yang menaungi, tapi tetangga besar yang membayang-bayangi.
Agama yang Tumbuh, Warga yang Terdesak
Aneh, ya? Pendidikan agama tumbuh pesat, tapi rasa sosial menyusut. Mengapa pesantren yang katanya mendidik santri jadi pribadi tawadhu, justru membangun tembok setinggi gengsi?
Ketika warga ingin bertanya, “Mengapa jalan kami dipersempit?” mereka takut dituduh “tidak mendukung dakwah”.
Ketika ada yang protes, “Lahan kami jadi makin sempit,” langsung dijawab, “Ini tanah wakaf untuk agama.”
Padahal tak semua warga mengerti kapan tanah itu diwakafkan, dan oleh siapa.
“Janganlah engkau menjauh dari manusia karena kesombongan atas ilmu yang engkau miliki. Sebab orang yang sombong akan dijauhkan dari kebenaran.”
— KH. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’allim
Menutup dengan Harapan
Andai pesantren mau kembali menengok sejarahnya, mereka akan melihat: kekuatan mereka bukan pada tembok tinggi, tapi pada keterbukaan hati.
Bukan pada jumlah santri yang ribuan, tapi pada rasa kehadiran di tengah warga.
Bukan pada bangunan megah, tapi pada relasi sosial yang hangat.
Karena pada akhirnya, pesantren yang besar bukan yang tinggi temboknya,
tapi yang luas jangkauan kasihnya.
Post a Comment