Sin Tae Yong dan Ingatan Kita
Indonesia kalah lagi. Kali ini dari Jepang. Tapi yang lebih menyakitkan bukan hanya skor di papan, melainkan kenyataan bahwa kita sedang berjalan mundur. Sepeninggal Sin Tae Yong, permainan timnas kembali seperti cerita lama yang diulang: lari-lari tanpa arah, umpan tanpa visi, dan selebrasi yang lebih banyak terjadi di Instagram daripada di lapangan.
Namun, bukan soal teknis yang ingin saya bahas. Karena soal teknis, federasi sepak bola kita sudah punya banyak “ahli” yang pandai bicara tapi bingung membaca formasi. Saya ingin bicara tentang satu hal yang lebih dalam: ingatan.
Kita mudah lupa.
Lupa bahwa pernah ada seorang pelatih Korea yang datang ke negeri ini bukan hanya membawa taktik, tapi juga disiplin, mental juang, dan—yang paling langka—kesungguhan. Ia tak segan menyebut bobroknya sistem latihan, tak sungkan menegur pemain bintang, dan dengan sabar membangun fondasi dari nol, seperti tukang yang tahu bahwa rumah ini retak dari pondasinya, bukan dari cat dindingnya.
Tapi apa yang terjadi setelahnya? Ia ditinggalkan, atau mungkin memilih pergi, karena sudah cukup lelah melihat betapa ingatan kita hanya sepanjang linimasa. Segala perjuangannya mengejutkan, tapi cepat dilupakan. Kini, setelah kembali ke kebiasaan lama—kalah, malas, dan panik massal—barulah namanya kembali disebut. Sebagai penyesalan. Atau nostalgia.
“The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting.”
— Milan Kundera
Namun ini bukan hanya soal sepak bola.
Lihatlah politik kita. Kasus korupsi muncul hampir tiap bulan. Ada menteri ditangkap, ada pejabat divonis, ada uang rakyat yang entah ke mana perginya. Tapi beberapa bulan kemudian, semua hilang dalam debu infotainment dan trending topik. Yang dulu kita sumpahi, kini duduk manis di kursi strategis. Yang dulu kita sebut “maling”, kini jadi pembuka seminar motivasi atau penceramah di hari kemerdekaan.
Dan kita diam. Bahkan tertawa.
Seolah korupsi adalah cerita sinetron. Bisa di-skip, bisa dilupakan, bisa diganti channel kapan saja. Kita kehilangan marah, karena kehilangan ingatan. Atau mungkin memilih melupakannya, karena marah terlalu melelahkan, dan mengingat terlalu menyakitkan.
“When tyranny becomes routine, forgetfulness becomes survival.”
— Catatan dari buku harian yang tidak pernah terbit
Sin Tae Yong adalah pengingat bahwa perubahan itu mungkin. Tapi juga rapuh. Butuh keberanian untuk merawatnya. Dan lebih dari itu, dibutuhkan ingatan yang panjang agar perubahan tak sekadar jadi tamu yang singgah saat menang, lalu diusir saat kalah.
Sepak bola dan politik memang berbeda. Tapi keduanya punya satu kesamaan: keduanya digerakkan oleh rakyat yang punya kuasa—kuasa memilih, kuasa bersuara, kuasa mengingat.
Sayangnya, kita terlalu sering memaafkan tanpa meminta pertanggungjawaban. Terlalu cepat melupakan, bahkan saat luka masih menganga.
“Negara bisa gagal bukan karena rakyatnya bodoh, tapi karena rakyatnya lupa siapa yang pernah menghancurkan.”
— kata seorang kawan satu meja saat ngopi
Maka hari ini, mari kita ingat.
Bukan hanya skor pertandingan, tapi juga nilai dari perjuangan. Bukan hanya siapa yang mencetak gol, tapi juga siapa yang mencuri uang rakyat. Karena negeri yang kehilangan ingatan, pada akhirnya, hanya akan jadi panggung bagi para penipu yang selalu berhasil tampil sebagai pahlawan.
Dan kalau kita terus begini—melupakan yang berjuang, memaafkan yang menghancurkan—jangan heran jika kelak anak cucu kita harus menonton dua pertunjukan sekaligus: timnas yang selalu kalah, dan negeri yang terus disuapi janji dari mulut yang pernah terbukti berbohong.
Satu-satunya yang lebih buruk dari kebodohan adalah melupakan bahwa kita pernah tahu mana yang benar.
Dan barangkali, dosa terbesar kita bukanlah membiarkan kejahatan terjadi—tapi membiasakan diri untuk tidak peduli.
Join the conversation