Selamat Datang di Malas Nulis

Sekolah Rakyat: Ilusi Pendidikan untuk Si Miskin

Sekolah Rakyat digadang jadi solusi pendidikan gratis untuk anak miskin. Tapi benarkah ini jawaban, atau hanya ilusi baru yang menyisakan ketimpangan.

Pendidikan itu, katanya, hak setiap warga negara. Tapi di negeri ini, kadang yang punya hak justru yang sudah punya segalanya. Yang miskin, tetap harus menunggu belas kasih. Harus antre bantuan. Harus siap jadi proyek percobaan kebijakan.

Lalu muncullah ide besar itu: Sekolah Rakyat.

Namanya sudah heroik. Sekolah. Rakyat. Dua kata sakral yang jika digabungkan, seolah menjadi jawaban atas segala persoalan: ketimpangan, kemiskinan, ketertinggalan. Sekolah Rakyat dijanjikan akan jadi tempat belajar yang gratis, lengkap dengan asrama, makan tiga kali sehari, pelatihan karakter, keterampilan hidup, hingga penguatan mental dan spiritual.

Luar biasa.

Tapi seperti biasa, di balik ide besar dan niat baik, kita patut bertanya: siapa yang sebenarnya butuh? Dan apa yang sebenarnya dibutuhkan?

Negeri yang Sudah Punya Sekolah, Tapi Lupa Merawatnya

Indonesia bukan negeri yang kekurangan sekolah. Kita punya ratusan ribu SD, SMP, SMA negeri dari Sabang sampai Merauke. Tapi yang kita kekurangan adalah perhatian. Anggaran yang cukup. Guru yang merata. Kursi yang tidak patah. Atap yang tidak bocor.

Di Bengkulu, ada SD Negeri 38 Kaur yang sudah lima tahun belajar di ruang darurat. Di tempat lain, ada guru honorer yang digaji di bawah UMR tapi dituntut mengabdi seperti ASN. Anak-anak belajar di ruang sempit, tanpa pendingin udara, tanpa laboratorium, bahkan kadang tanpa guru.

Lalu negara datang dengan solusi: membangun sekolah baru. Dengan dana Rp100 miliar. Di atas lahan 10 hektar. Dengan gedung megah dan fasilitas lengkap.

Maaf, tapi ini terdengar seperti membangun resort mewah di tengah kampung yang kekeringan.

Segregasi Sosial yang Dipoles Jadi Program Inklusif

Sekolah Rakyat, menurut rencana, hanya menerima anak-anak dari desil 1 dan 2—alias yang paling miskin menurut data negara. Ini bukan sekolah umum. Ini sekolah khusus. Untuk orang miskin saja. Dengan kurikulum yang juga “disesuaikan” dengan kemampuan mereka.

Baiklah, mungkin maksudnya baik: supaya mereka dapat perhatian lebih. Tapi bukankah dengan itu negara justru menciptakan garis pemisah sejak awal?

Anak-anak dari keluarga berada tetap di sekolah umum, bercampur, bersaing, bertumbuh bersama. Sementara anak-anak dari keluarga miskin dikumpulkan di sekolah khusus, dengan pendekatan “khusus”, dalam ruang “khusus”. Seolah-olah mereka tak bisa bersaing jika tidak dipisahkan dulu.

Inilah wajah baru dari segregasi: dibungkus niat baik, dipoles jadi program inklusif.

“Kalau anak-anak miskin harus disekolahkan di tempat khusus, itu bukan pendidikan. Itu karantina sosial.”
Emha Ainun Nadjib

Kalimat pendek yang menyengat. Dan sayangnya, tepat sekali.

Pendidikan yang adil seharusnya menyatukan. Bukan memisahkan dengan dalih belas kasih. Pendidikan seharusnya memerdekakan, termasuk memerdekakan mereka dari ketimpangan. Bukan malah merawatnya dengan struktur baru yang tampak rapi, tapi menyimpan luka.

Asrama Itu Solusi, Bukan Alasan Bikin Sekolah Baru

Kalau memang tujuannya ingin memutus rantai kemiskinan, meningkatkan akses pendidikan, dan memperbaiki nasib anak-anak pelosok, kenapa tidak dimulai dari yang sudah ada?

Bangun asrama di dekat sekolah negeri. Jadikan itu rumah singgah bagi anak-anak yang rumahnya jauh, yang orang tuanya tidak mampu mengantar tiap hari. Lengkapi dengan makan sederhana, bimbingan belajar, pembinaan karakter. Tidak perlu gedung baru. Tidak perlu branding baru.

Dengan begitu, anak-anak dari berbagai latar belakang tetap belajar di sekolah yang sama. Mereka saling mengenal. Tidak ada sekat antara si kaya dan si miskin. Pendidikan menjadi ruang bersama, bukan panggung seleksi sosial.

Biayanya? Jauh lebih murah. Efek sosialnya? Lebih luas. Dan yang paling penting: tidak menciptakan kasta baru dalam dunia pendidikan.

Mimpi Baru, Peluang Lama

Kita semua tentu ingin pendidikan yang lebih baik. Tapi di negeri ini, kadang mimpi besar justru membuka pintu lama: pintu anggaran, pintu tender, pintu proyek.

Sekolah Rakyat, dengan segala idealismenya, datang lengkap dengan fasilitas baru, anggaran besar, dan lahan luas. Dan seperti yang sudah-sudah, begitu ada gedung baru, biasanya antrean pertama bukan berisi anak-anak, tapi papan proyek.

Kita tahu tradisinya. Kalau bisa dikapitalisasi, kenapa harus dimurnikan? Kalau bisa ditenderkan, kenapa harus diperjuangkan?

Padahal, pendidikan itu mestinya urusan hati. Tapi sayangnya, yang sering lebih dulu hadir adalah hitung-hitungan.

“Korupsi bukan sekadar pencurian. Ia perampasan masa depan yang dibungkus laporan pertanggungjawaban.”

Dan kita pun tahu, setiap proyek baru selalu punya dua sisi: yang satu ditulis dalam proposal, yang satu lagi diselipkan dalam kuitansi.

Karena Pendidikan Itu Harus Adil, Bukan Sekadar Heboh

Mungkin Sekolah Rakyat bisa jadi tempat yang menyenangkan. Mungkin anak-anak di sana akan merasa diperhatikan. Tapi tetap saja, jika ini dijadikan solusi utama, kita sedang bermain-main dengan api. Kita sedang mempertaruhkan masa depan anak-anak miskin dalam eksperimen sosial yang penuh risiko.

Sekolah Rakyat bisa saja berhasil. Tapi jika yang lain tetap dibiarkan roboh, tetap kekurangan guru, tetap miskin fasilitas, maka keberhasilan itu hanya akan jadi pameran: “Lihat, negara berhasil mendidik sebagian kecil anak miskin!”—sementara ribuan anak lainnya masih belajar di lantai tanah.

Pendidikan bukan proyek pencitraan. Ia bukan soal seremoni, bukan soal program eksklusif, bukan soal angka dalam laporan menteri.

Pendidikan itu soal kehadiran yang adil. Soal keberpihakan yang konsisten. Soal ruang belajar yang merata, dari kota sampai pelosok, dari anak ASN sampai anak buruh tani.

Karena anak-anak miskin tidak butuh sekolah impian yang jauh dan asing.
Mereka hanya butuh keadilan yang bisa mereka rasakan di sekolah terdekat. Hari ini. Bukan nanti.