-->

Sekolah di Ponorogo: Sumbangan Sukarela, Wajib Hukumnya

Sekolah-sekolah negeri di Ponorogo sedang semangat membangun. Ada yang membangun masjid, ada yang memperluas parkiran, ada pula yang membangun “kesadaran beragama” lewat iuran. Semua atas nama cinta, gotong royong, dan... sumbangan sukarela.

Sukarela?
Ya, tapi kalau tidak bayar, ijazah anakmu ditahan.
Jadi suka tidak suka, relanya harus rela.

Di Kota Reog, Ada Tarian Pungutan yang Tak Tertulis

Baru-baru ini Komisi D DPRD Ponorogo menerima laporan. Beberapa SMP negeri di kawasan kota dilaporkan memungut dana berkedok “sumbangan sukarela”, nilainya Rp1 juta sampai Rp1,5 juta per siswa.

Alasannya? Untuk pembangunan masjid sekolah.
Alat tekanannya? Ijazah.

Konon, kalau tidak ikut menyumbang, ijazah anakmu akan menginap dulu di ruang tata usaha. Sementara itu, orang tua diminta introspeksi: "Kenapa tega-teganya tak ikut membantu pembangunan rumah Tuhan?"

Masalahnya, Tuhan tak pernah memerintahkan penahanan ijazah.

DPRD dan Dinas: Turun Tangan Setelah Ribut

Ketua Komisi D bilang, praktik seperti ini tak bisa dibiarkan. Kepala Dinas Pendidikan bilang, itu bukan kebijakan resmi.

Tentu saja bukan. Di negeri ini, praktik buruk jarang sekali datang dari kebijakan. Ia tumbuh dari kebiasaan yang dibiarkan, dari diamnya pengawas, dari komite yang bicara sepihak, dan dari rasa takut orang tua yang terlalu lama dianggap wajar.

Komite Sekolah: Wakil Orang Tua Versi Orang Kaya

Sekolah berdalih: “Ini sudah disepakati komite sekolah.”
Tapi coba tanya siapa saja anggota komitenya?

Biasanya, mereka:

  • Punya mobil yang tidak murah,
  • Punya usaha atau jabatan publik,
  • Punya koneksi langsung ke kepala sekolah,
  • Dan punya dompet yang tidak bereaksi terhadap angka sejuta.

Komite ini bukan kumpulan pedagang pasar yang bingung bayar SPP. Mereka bukan kuli bangunan yang anaknya naik sepeda ke sekolah.
Mereka bukan kita. Tapi katanya, mewakili kita.

Maka jadilah sumbangan “sukarela” itu hasil musyawarah dari logika orang mapan—yang kemudian dibebankan ke rakyat biasa, lengkap dengan stempel partisipasi.

Ijazah Jadi Sandera, Orang Tua Jadi Korban

Di banyak tempat, ijazah sudah berubah fungsi.
Dulu ia lambang kelulusan. Kini ia jadi jaminan.
Jaminan bahwa orang tua sudah setor, atau akan setor, atau bersedia diseret malu-malu untuk akhirnya menyetor.

Maka ijazah bukan hanya penanda akademik. Ia adalah tanda lunas.
Lunas membayar pembangunan, lunas menebus gengsi, lunas menunaikan sumbangan yang katanya tak wajib—tapi wajib.

Negara Hadir Saat Seremonial, Menghilang Saat Pungutan

Negara hadir waktu wisuda: sambutan pejabat, pembacaan visi-misi, pemotongan tumpeng.
Negara juga hadir saat peresmian masjid sekolah hasil iuran rakyat kecil.
Tapi saat ijazah anak ditahan karena tak mampu bayar?
Negara berubah jadi notulen rapat. Diam. Mencatat. Menguap.

Maka Sekolah Jadi Kantor Pembayaran

Kita tidak sedang menyekolahkan anak, tapi sedang mencicil masa depannya.
Anak-anak diminta lulus, tapi dengan syarat: orang tuamu harus lebih dulu lulus uji kesabaran dan keuangan.
Ijazahmu hanya bisa keluar dari lemari, setelah lembaran uang keluar dari dompet.

Solusi? Barangkali Cuma Saran Waras

Ada yang bilang, “Kalau nggak mau dimintai sumbangan, ya jangan sekolahin anak di negeri.” Tapi sebaliknya, kita juga bisa bertanya: Kalau sekolah negeri sudah tidak gratis, kenapa negara masih diam saja?

Barangkali, kita tidak butuh solusi besar, cukup akal sehat.
Misalnya, kepala sekolah tak perlu merasa jadi kontraktor. Kalau memang dana BOS kurang, bicarakan terbuka. Sampaikan secara jujur, angkanya berapa, untuk apa, dan kenapa masih bolong. Karena orang tua, meski dompetnya tipis, tak suka ditipu.

Komite sekolah juga sebaiknya bukan klub eksklusif. Jangan cuma diisi pengusaha dan tokoh yang semua setuju karena tak pernah merasa berat. Ajak juga orang tua yang tiap pagi jualan sego pecel. Mereka juga punya hak bicara, meskipun tidak punya jabatan.

Ijazah, tolong, jangan lagi dijadikan jaminan. Itu bukan barang gadai. Itu hak anak yang sudah berjuang ujian dan bangun pagi. Kalau sekolah butuh dana, cari cara yang lebih manusiawi. Jangan pakai model "kalau tak setor, tak lulus". Bahkan debt collector pun tak sekasar itu.

Dan kalau memang ingin bangun masjid, ajukan ke Pemda, ke Kemenag, ke siapa pun yang memang tugasnya membiayai. Jangan bangun tempat sujud dengan cara menindas. Tuhan tidak pernah memerintahkan pembangunan atas dasar tekanan dan rasa malu.

Pendidikan itu mestinya membebaskan, bukan membebani.
Kalau sejak sekolah anak-anak diajari tunduk pada iuran, takut pada bendahara, dan malu karena tak bisa menyumbang, maka yang kita cetak bukan warga negara... tapi warga cicilan.

Baca Juga :-
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART