-->

RSUD Hardjono Ponorogo: Tempat Angka Sembuh, Keluhan Tetap Sakit

Konon, rumah sakit itu tempat orang sembuh. Atau paling tidak, tempat orang berharap. Tapi kadang, yang sembuh duluan bukan badan, melainkan kesabaran.

Beberapa hari lalu, muncul keluh kesah warga Ponorogo di kolom komentar. Cerita-cerita yang, entah kenapa, rasanya akrab di telinga banyak orang. Ada yang menulis begini:

“Bapak mertua que minggu kemarin jga mau rawat inap tp tidak diperbolehkan katanya gak sakit… dia cuma kelelahan matanee…. pakmer udah lemes gag bisa apa buat bangun jalan bdan sakit katanya gag apa²…. kudu tak keprog ndas ee perawattt jengkel akku.”

(Terjemahan bebas):

“Bapak mertua saya minggu lalu mau rawat inap, tapi tidak diperbolehkan, katanya tidak sakit... cuma kelelahan matanya... padahal beliau sudah lemas, tidak bisa bangun atau berjalan, badannya sakit, tapi dibilang tidak apa-apa... rasanya pengen saya ketuk kepala perawatnya, saya jengkel sekali.”

Yang lain tak kalah getir:

“Almarhum mbah ku di kek ne ng lorong cah dewe tak kiro pas kae tok ternyata sampek sekarang yo podo tapi ndisek enek kamar kosong padahal.”

(Terjemahan bebas):

“Almarhum kakek saya dulu juga ditaruh di lorong, saya kira hanya sebentar, ternyata sampai sekarang pun keadaannya sama saja, padahal dulu sebenarnya ada kamar kosong.”

Ada pula kisah yang lebih dramatis:

“Lairan ng kunu ra ditulungi sampek metu bayine meh setengah jam. Perawat e lagi metu.”

(Terjemahan bebas):

“Melahirkan di sana tidak segera ditangani, sampai bayinya keluar hampir setengah jam. Perawatnya sedang keluar.”

Dan komentar lain yang singkat tapi tajam:

“Pegawaine pas ng jobo RS yo enek sing arogan barang o, ga kaget.”

(Terjemahan bebas):

“Pegawainya kalau di luar rumah sakit juga ada yang arogan, saya tidak kaget.”

Cerita-cerita semacam ini biasanya dianggap angin lalu. Nanti akan ada konferensi pers. Dan benar saja, pihak rumah sakit pun angkat suara. Direktur RSUD dr. Harjono Ponorogo, dr. Yunus Mahatma, tampil dengan pernyataan resmi. Katanya, semua tuduhan itu tidak berdasar. Hanya salah paham. Pelayanan tetap berjalan. Tidak ada pasien yang diabaikan. Bukti? Angka-angka.

“Tahun ini kunjungan rawat inap meningkat, dari BOR 30 persen menjadi 60 persen. Penghasilan rumah sakit pun naik dari Rp. 90 miliar menjadi Rp. 170 miliar. Mana mungkin orang yang sukses itu berjudi, mabuk…”

Angka memang sering jadi obat mujarab. Menenangkan yang gusar, menyanggah yang protes. Angka tak pernah berteriak. Angka tak pernah merengek. Angka tak punya rasa sakit.

Maka di sinilah kita berdiri: di antara dua kubu yang tak pernah benar-benar bertemu. Yang satu datang dengan pengalaman getir. Yang lain datang dengan statistik kemenangan. Yang satu membawa cerita malam-malam panjang di lorong rumah sakit. Yang lain membawa grafik yang meroket indah.

Padahal kita sama-sama tahu, grafik tak pernah merasakan lemasnya badan yang tak ditangani. Presentasi PowerPoint tak pernah mendengar isak tangis keluarga yang keburu putus asa.

Barangkali memang tidak semua keluhan itu murni benar. Mungkin juga, tidak semua petugas bersikap buruk. Tapi kalau setiap kritik hanya dijawab dengan angka, lambat laun orang berhenti berharap. Mereka akan bilang, “Lha percuma, wong yang dijaga cuma statistik.”

Mungkin, sebelum kita sibuk membanggakan kenaikan BOR dan miliaran rupiah, ada baiknya menengok lorong-lorong itu. Lorong yang jadi saksi orang menunggu, menahan sakit, menahan marah.

Karena kalau kepercayaan sudah betul-betul habis, tidak ada laporan tahunan yang bisa menyelamatkan. Angka tak lagi menenangkan, kalau yang terluka merasa diabaikan.

Baca Juga :-
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART