-->

Pestisida yang Beracun, Rokok yang Disalahkan hingga Subsidi Masker untuk Petani

Kita sudah hafal di luar kepala: rokok itu biang penyakit. Tiap bungkusnya menampilkan gambar paru-paru hitam, tenggorokan bolong, peringatan yang menjerit-jerit agar orang insaf. Dan itu sah-sah saja, sebab data tak pernah berdusta: rokok memang menyumbang banyak kematian.

Namun ada sesuatu yang mengusik di benak: apakah semua penyakit paru-paru hanya gara-gara rokok?

Kita jarang mendengar dokter bertanya lebih jauh saat seorang petani datang dengan batuk berkepanjangan. Biasanya hanya sepotong tanya, “Bapak perokok?” Jika jawabannya iya, maka kasus ditutup rapat-rapat—seolah tak ada kemungkinan lain yang patut dicurigai.

Jarang sekali terdengar pertanyaan lanjutan:

“Bapak kerja di mana? Sering menyemprot tanaman? Pakai masker atau tidak?”

Padahal setiap hari, para petani itu berjalan menembus kabut pestisida. Menyemprot tanaman tanpa masker layak, menghirup senyawa kimia yang konon bisa membunuh serangga dalam hitungan menit. Tapi tak ada label gambar paru-paru hancur di botol pestisida. Tak ada iklan layanan masyarakat yang menampilkan petani batuk darah akibat semprotan racun.

Entah mengapa, kita lebih nyaman memusuhi sebatang rokok ketimbang menggugat kabut pestisida yang menyelimuti sawah. Barangkali karena rokok lebih mudah dijadikan simbol dosa. Sementara pestisida—ah, itu urusan pangan nasional, terlalu rumit untuk diutak-atik.

Dinas kesehatan pun rasanya malas memikirkan sosialisasi yang lebih rajin. Edukasi soal bahaya pestisida kadang tak pernah muncul sama sekali—tak ada tempelan di kantor desa, tak ada penyuluhan rutin. Yang tersisa cuma peringatan kecil di label botol pestisida, hurufnya entah ukuran tujuh, entah cuma setengah niat.

Padahal, ada jalan yang lebih sederhana: subsidi masker berkualitas melalui toko-toko pertanian. Tempat para petani biasa membeli pestisida, pupuk, dan obat-obatan tanaman. Jika masker disediakan di sana—disubsidi oleh Dinas Pertanian—setidaknya paru-paru petani tidak harus menanggung semua racun sendirian.

Mungkin suatu hari nanti, akan ada petugas toko pertanian yang tak cuma menimbang racun serangga, tapi juga berkata pelan:

“Pak, ini maskernya, sudah disubsidi Dinas Pertanian. Bapak jangan lupa memakainya, ya.”

Dan mungkin, di ruang praktik, akan ada dokter yang sabar bertanya lebih dari sekadar, “Bapak perokok?”

Sampai hari itu tiba, rokok tetap menjadi penjahat utama. Pestisida tetap tinggal kabut yang tak pernah diadili. Dan kita, seperti biasa, akan pura-pura lupa.

Baca Juga :-
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART