BPJS dan Rumah Sakit di Ponorogo
Kesehatan, menurut konstitusi, adalah hak setiap warga negara. Namun dalam kenyataan, tidak semua orang merasakan hal yang sama saat berobat ke rumah sakit, khususnya ketika membawa kartu BPJS.
Antrian panjang, pelayanan yang terasa terburu-buru, bahkan kadang disuruh pulang sebelum merasa pulih—itulah beberapa cerita yang kerap terdengar dari masyarakat. Mereka bukan tidak bersyukur, hanya bingung: mengapa saat sudah ikut iuran setiap bulan, justru pelayanan terasa lebih terbatas?
Rumah Sakit dan BPJS: Hubungan yang Perlu Dirawat
Tidak bisa dipungkiri, rumah sakit—terutama rumah sakit daerah—saat ini menghadapi tekanan besar. Sebagian besar pasien menggunakan BPJS, sementara pembayaran klaim sering tertunda.
Di Jawa Timur, sepanjang 2024, tunggakan klaim BPJS tercatat lebih dari Rp 500 miliar. Di Sumatera Barat, awal 2025, nilainya mencapai Rp 88 miliar. Di Pontianak, bahkan ada rumah sakit yang mengaku klaim tertunda hingga 25% dari total pelayanan.
Dalam kondisi seperti itu, rumah sakit sering terpaksa mengatur ulang pelayanan. Obat menjadi terbatas, tenaga kesehatan bekerja dengan beban ganda, dan pasien BPJS pun merasakan dampaknya.
Namun yang menjadi persoalan bukan semata-mata keterbatasannya—tetapi minimnya penjelasan kepada masyarakat. Banyak pasien datang tanpa tahu bahwa rumah sakit sedang kesulitan. Yang mereka rasakan hanya perlakuan yang tampak berbeda, sering kali tidak menyenangkan.
Kisah dari Ponorogo: Potret di Daerah
Di Ponorogo, sejak awal 2025, RSUD dr. Harjono mulai membatasi kunjungan rehabilitasi medik bagi pasien BPJS. Yang semula bisa datang setiap hari, kini hanya diizinkan maksimal dua kali seminggu.
Seorang lansia dari pelosok datang jauh-jauh untuk fisioterapi, namun harus pulang karena jadwal tidak tersedia.
Situasi ini memicu protes. Pada Juni 2025, ratusan warga Ponorogo turun ke jalan, menuntut perbaikan layanan dan keterbukaan dari rumah sakit. Sayangnya, tidak ada penjelasan yang memadai dari pihak rumah sakit. Hal-hal yang semestinya bisa disampaikan dengan baik justru ditanggapi dengan diam atau aturan yang kaku.
Ketika Administrasi Mengalahkan Rasa
Tenaga kesehatan bekerja dalam tekanan besar. Berkas harus lengkap, diagnosis harus sesuai kode, resume medis harus terisi sempurna. Jika tidak, klaim bisa ditolak.
Akibatnya, waktu untuk mendengar keluhan pasien semakin berkurang. Konsultasi menjadi singkat. Layanan menjadi terasa dingin.
Sebagian rumah sakit bahkan hanya melayani kasus-kasus yang dipastikan "aman" dari sisi klaim. Pasien yang dinilai tidak gawat darurat bisa ditolak. Yang seharusnya dirawat, kadang dipulangkan lebih awal. Semua karena tekanan sistem.
Suara Masyarakat: Kami Hanya Ingin Diperlakukan Setara
Pasien BPJS bukan sedang meminta perlakuan istimewa. Mereka hanya ingin diperlakukan setara, sebagaimana pasien lainnya.
Namun yang sering terjadi justru sebaliknya:
- Diminta membeli obat di luar rumah sakit
- Dibiarkan menunggu berjam-jam di IGD
- Dilayani dengan bahasa yang kurang ramah
Padahal, BPJS adalah wujud gotong royong. Warga membayar iuran bersama-sama untuk saling membantu saat sakit. Jika semangat itu hilang di ruang pelayanan, maka BPJS kehilangan rohnya.
Saatnya Rumah Sakit Bicara Jujur
Kami tidak sedang menunjuk siapa yang salah. Tapi kami percaya, pelayanan kesehatan bukan hanya soal medis, tetapi juga soal kemanusiaan.
Jika rumah sakit sedang dalam tekanan, sampaikan kepada pasien dengan baik. Jangan diam. Jangan hanya menjalankan aturan, lalu membiarkan masyarakat menebak-nebak.
Keterbukaan adalah bagian dari pengobatan. Pelayanan yang tegas tidak harus kaku. Pelayanan yang terbatas tidak harus sembrono.
Semoga negara tidak hanya hadir di spanduk dan ruang rapat, tapi benar-benar hadir di ruang tunggu rumah sakit. Di sana, rakyat kecil tidak sedang meminta keistimewaan—mereka hanya ingin dimanusiakan.
Post a Comment