Selamat Datang di Malas Nulis

Resume Materi Pasca Ngopi: Pengadilan Rakyat untuk Koruptor

Koruptor ada kalanya perlu dihajar dengan pengadilan rakyat. Karena aparat sudah sulit dipercaya

Seperti biasa, kami masih berkumpul sambil menyeruput kopi, menghabiskan waktu dengan obrolan ringan yang tak tentu arah. Hingga tibalah kami pada sebuah topik yang, entah mengapa, selalu menarik untuk dibahas walau rasanya sudah basi: korupsi. Lebih tepatnya, wacana pengadilan rakyat untuk para koruptor.

Di negeri ini, terdapat satu spesies manusia yang sangat istimewa. Mereka tidak takut krisis ekonomi, tidak gentar digeser kabinet, dan bahkan lebih kuat dari badai politik lima tahunan. Mereka adalah koruptor—makhluk setengah dewa yang bisa masuk penjara sambil tersenyum dan keluar dengan sambutan bak pahlawan pulang perang.

Menurut Transparency International, Indonesia tahun 2024 berada di peringkat 110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Skornya? 34 dari 100. Cukup untuk lulus jika ini ujian, tapi tetap memalukan jika ini cermin moral bangsa.

Uniknya, korupsi di negeri ini bukan lagi dianggap kejahatan, melainkan kebudayaan. Bahkan boleh dibilang bagian dari warisan tak benda yang nyaris diusulkan ke UNESCO. Dari dana bansos hingga proyek jalan tol, dari pengadaan sapi qurban hingga pengaspalan imajinasi, semuanya berpotensi disunat, dipotong, lalu dikunyah bersama jaringan.

Yang lebih menggelikan, saat aparat menangkap koruptor, yang terasa justru nurani publik yang diborgol. Sementara pelakunya tampil memesona di layar kaca, mengenakan jaket tahanan oranye yang entah mengapa lebih mirip produk endorse ketimbang simbol penyesalan.

Ada yang mencuri triliunan dari proyek e-KTP, dihukum, lalu menghilang seperti sinyal internet di pedalaman. Ada yang merampok dana desa, dihukum ringan, dan kemudian mencalonkan diri menjadi pemimpin rakyat yang sama-sama dirugikannya. Ada pula alumni penjara korupsi yang kembali diberi posisi komisaris di perusahaan negara. Di negeri ini, penjara tampaknya hanyalah cuti panjang, bukan akhir dari karier.

Dan rakyat? Seperti biasa: menjadi penonton setia sinetron hukum dengan alur yang sudah bisa ditebak. Ada adegan penyelidikan dramatis, tangkapan kamera yang berapi-api, sidang yang perlahan membosankan, lalu happy ending di luar negeri atau jabatan strategis.

Maka tak heran, di tengah kegagalan sistem formal, muncul wacana: bagaimana jika kita adakan saja Pengadilan Rakyat untuk Koruptor?

Tentu, ini bukan pengadilan untuk mencambuk atau menjebloskan. Bukan pula tempat bakar lilin massal sambil teriak revolusi. Tapi ruang sosial yang dibangun dari ingatan kolektif. Tempat kita mencatat dosa-dosa para perampok uang rakyat, agar tak dilupakan hanya karena tabloid gosip baru atau konser selebritas viral.

Pengadilnya? Bukan politisi berjas tebal atau mantan aparat dengan gelar panjang, melainkan akademisi yang masih jujur, aktivis antikorupsi yang hidupnya belum berubah meski sudah bicara puluhan tahun, dan—yang paling penting—rakyat biasa. Rakyat sungguhan. Bukan mereka yang memakai nama “rakyat” tapi saldo rekeningnya setara APBD satu provinsi.

Hukumannya? Bukan kurungan, tapi pengasingan moral. Daftar merah yang dibacakan rutin di sekolah, masjid, gereja, bahkan terminal. Supaya generasi mendatang tahu: inilah orang-orang yang membuat harga beras melambung, pendidikan tak terjangkau, dan rumah sakit harus dibayar di muka sebelum nyawa diselamatkan.

Karena jika hukum formal sudah menjadi barang obral, maka hukum moral harus dinaikkan panggungnya.

Karena ketika aparat sibuk menjaga citra, maka rakyat harus menjaga ingatan.

Karena negeri ini tidak akan sembuh, selama maling masih bebas berpidato dengan mikrofon negara.