Di Ponorogo, Pasang Spanduk Warung Kena Pajak 200 Ribu
Di negeri yang katanya berdaulat, memasang spanduk di warung sendiri bisa dianggap kriminal jika belum setor. Itulah yang terjadi di Ponorogo, ketika seorang penjual pecel menerima tagihan pajak reklame. Bukan karena memasang baliho raksasa di jalan protokol, tapi cuma karena menempel spanduk kecil di dinding tempat usahanya sendiri.
Alasannya? Karena di spanduk itu tertulis nomor WhatsApp dan akun Facebook.
Serius. Bahkan mungkin kalau ditulis “Gratis Nasi Tambah 2x”, itu pun bisa dianggap promosi, lalu dikenai pajak karena “berunsur komersial”.
Menurut bahasa birokrasi, reklame adalah segala bentuk pesan visual yang bertujuan mempromosikan barang, jasa, orang, atau ide, dan ditujukan kepada publik. Bentuknya bisa macam-macam: spanduk, banner, baliho, neon box, umbul-umbul, stiker kaca, tulisan di dinding, plang nama, bahkan tiang kecil bertuliskan “Tukang Cukur – 20 Meter Lagi”.
Jika semua itu disebut reklame, maka kita pantas bertanya: apakah spanduk duka cita termasuk promosi jasa pemakaman? Apakah tulisan “Laundry Kiloan – Cepat & Wangi” di pagar rumah dianggap menggangu estetika kota? Kalau jualan lewat kardus bekas bertuliskan “Es Degan Segar”, apakah itu sudah melanggar Perda?
Menurut Etik Musdalifah dari DPMPTSP, sesuai Perda Nomor 11 Tahun 2023, semua bentuk reklame memang wajib izin. Bahkan jika hanya banner kecil di rumah sendiri, selama ada unsur promosi, ia tetap dikenai pajak.
Sumber: Pasang Spanduk Dikenai Pajak, Ini Tanggapan DPMPTSP – Gema Surya FM
Pelaku usaha kecil sedang bertahan dari harga beras, listrik, dan hidup yang makin mahal. Mereka berusaha promosi dengan spanduk sederhana, berharap dagangan laku. Tapi lalu negara datang, bukan untuk bantu, tapi menagih.
“Silakan jualan. Tapi jangan kelihatan.”
Kalau tidak boleh kelihatan, kami harus promosi lewat apa? Asap? Kode Morse?
Kalau semua yang kelihatan dianggap reklame, mari kita samakan semuanya. Spanduk acara tahlilan? Kena. Ada nama dan tanggal. Bisa jadi agenda publik. Banner posyandu dan imunisasi? Ada informasi layanan. Tetap visual. Banner tukang jahit, tambal ban, laundry rumahan, pengumuman lomba 17-an, atau bahkan ucapan selamat pernikahan? Jangan-jangan semua harus setor.
Negara memang berhak menarik pajak. Tapi kalau pajaknya ditarik dari kain lusuh yang digantungkan di pagar, itu bukan keberpihakan, itu kemalasan berpikir. Negara tidak seharusnya menjadi pemalak visual hanya karena punya Perda.
Kami tak keberatan berkontribusi. Tapi bila kontribusi itu terasa seperti pungli legal, maka yang hilang bukan sekadar uang—tapi kepercayaan.
Kami ini bukan pemilik billboard raksasa. Kami bukan konglomerat tambang. Kami hanya rakyat kecil yang ingin dagangan laku, bukan menggangu kota. Tapi kalau negara masih melihat setiap huruf di kain sebagai sumber pungutan, maka bersiaplah: yang tumbuh bukan PAD, tapi kebisuan dari yang mulai tak percaya.
Berikanlah sedikit ruang bagi kami untuk menempel kain pada dinding sendiri,
tanpa harus kau datangi sambil bawa formulir, meteran, dan tagihan.
Join the conversation