Orang Ponorogo Harap Hati-Hati, KTP-mu Bisa Ngutang Tanpa Permisi
Ponorogo sedang ramai. Bukan karena festival reyog atau kunjungan menteri, tapi karena KTP yang bisa jalan-jalan sendiri.
Katanya, ada puluhan warga yang tiba-tiba “pindah rumah” dalam data, tanpa pernah mengangkat barang. Tapi yang paling aneh: domisili mereka pindah, pinjaman bank cair, dan tahu-tahu rekening mereka yang didebet.
Hebatnya lagi, semua ini terjadi tanpa si warga tahu apa-apa. Seolah-olah ada kekuatan gaib yang mengatur segalanya: dari perubahan alamat, pengajuan kredit, sampai potongan cicilan tiap bulan. Kalau bukan maling berjamaah, mungkin ini yang namanya “pinjaman spiritual”.
Tentu saja ada penjelasan teknisnya. Dan tentu saja kita pura-pura tidak tahu.
Tersangka sudah ditetapkan: seorang mantri BRI yang diduga main belakang. Tapi kalau melihat betapa rapi jalurnya—data berubah, KTP cetak ulang, pinjaman cair—mustahil ini kerja satu orang.
Sistem kependudukan kita tidak bisa diakses tukang parkir. Perubahan alamat butuh login petugas, jejak digital, dan biasanya ada sidik jari. Kalau semua itu bisa “berubah sendiri”, ya maaf, kita sedang tidak berurusan dengan kasus kriminal, tapi mujizat birokrasi.
Tapi tunggu dulu. Pihak berwenang bilang:
"Kami masih mendalami potensi keterlibatan oknum Dukcapil."
Nah ini. Kata “potensi” di Indonesia punya fungsi ajaib: bisa berarti sudah tahu tapi belum mau bilang. Bisa juga nunggu situasi sepi. Kadang juga dipakai agar yang bersangkutan bisa mengamankan diri, aset, dan relasi politiknya duluan.
Ya namanya juga Ponorogo. Ramah tamah itu penting, apalagi kalau pelakunya masih satu pengajian atau satu grup WhatsApp alumni.
Dan yang paling sial, tentu saja warganya.
Warga kecil, yang gajinya pas-pasan, yang tidak pernah pegang brosur KUR, yang ngurus BPJS saja bingung—sekarang tiba-tiba jadi peminjam uang dengan cicilan aktif.
Ada yang rekeningnya didebet dua juta. Ada yang baru tahu karena dihubungi debt collector. Apa yang bisa mereka lakukan? Lapor ke bank, dilempar ke Dukcapil. Lapor ke Dukcapil, disuruh ke kejaksaan. Sampai akhirnya sadar: oh, mungkin memang nasib kami ini cuma jadi nama di formulir.
Sementara itu, para pelaku di balik layar masih belum lengkap jumlahnya. Baru satu yang ditahan. Sisanya? Masih “didalami”. Didalami pakai apa, tidak ada yang tahu. Mungkin pakai cangkul. Mungkin nunggu musim panen.
Tapi kalau boleh jujur, dari cara kasus ini diurus, kita bisa lihat pola lama sedang diulang:
- Ketika rakyat kecil jadi korban,
- pejabat sibuk konferensi pers,
- dan pelaku utamanya sedang rapat keluarga.
Tapi ya sudah. Namanya juga Indonesia bagian pinggir. Kadang, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah ngopi sambil bilang:
“Lha wong KTP ae iso pindah dhewe, mosok maling e ora iso ndhelik?”
Join the conversation