NU dari Surau ke Tambang
Tiba-tiba saja, dari balik mimbar keagamaan yang biasanya berisi ceramah moral dan doa-doa untuk bangsa, muncul narasi baru: konsesi tambang.
Ya, rupanya di zaman ini, jihad tidak lagi harus lewat kitab suci tapi bisa juga lewat mengajukan proposal, dapat izin tambang, dan berjuanglah demi nikel dan batubara. Konon, ini jalan baru menuju surga, jalur khusus untuk ormas yang cukup strategis.
PBNU menyambutnya. Dengan hati terbuka dan proposal tertata rapi. Katanya, ini bentuk kemandirian umat, pemberdayaan ekonomi, dan tentunya—maslahat. Sekjen PBNU, Syaifullah Yusuf, bahkan menyebut bahwa mereka sedang mempersiapkan badan usaha untuk mengelola tambang dengan prinsip profesional dan akuntabel (sumber: Kompas, 5 Juni 2024).
Masuk akal, dalam logika kekuasaan. Di negeri yang setiap tahun membahas kedaulatan rakyat tapi lupa siapa yang menguasai tanah, tambang memang selalu jadi rebutan. Dan kini, rumah ibadah ikut antre.
Siapa sangka, jalan dari surau ke tambang ternyata hanya perlu satu Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024.
Tapi mari kita buka kitab yang lain—bukan yang bersampul hijau atau kuning—melainkan laporan WALHI dan JATAM.
Mereka mencatat bahwa industri tambang di Indonesia erat kaitannya dengan deforestasi, pencemaran air, dan konflik agraria. Tambang batubara, misalnya, telah meninggalkan lebih dari 3.000 lubang maut di Kalimantan Timur saja. Sebagian di antaranya merenggut nyawa anak-anak (sumber: JATAM, 2023).
Apakah konsesi tambang yang dikelola ormas akan berbeda? Akan ramah lingkungan, penuh akhlak mulia, dan mengutamakan keseimbangan ekologis? Atau hanya akan menambah daftar panjang lubang ekskavasi yang ditutup doa penutup majelis?
Kita belum tahu.
Tapi sejarah tidak mudah dilupakan: ketika ekonomi dan agama mulai tidur sekasur, nurani kerap jadi korban pertama.
Lalu menyusul: tanah adat, hutan lindung, mata air, dan kampung-kampung yang tiba-tiba berada “di wilayah konsesi”.
Kalau tambang ini benar demi umat, mari kita uji: apakah warga sekitar akan mendapat air bersih? Sekolah gratis? Udara sehat? Atau hanya kotak amplop saat musim pemilu?
Mungkin inilah wajah baru dakwah: bukan lagi “berjalanlah di muka bumi,” melainkan “galilah yang paling menguntungkan.”
PBNU adalah ormas besar. Jika mereka benar-benar mampu mengelola tambang dengan etika, transparansi, dan keberpihakan pada lingkungan serta masyarakat adat itu akan jadi revolusi moral dalam industri ekstraktif.
Tapi kalau tidak, jangan salahkan publik bila mulai merasa: yang digali bukan cuma tanah, tapi juga integritas.
Dan bila suatu hari suara azan terdengar bersaing dengan deru alat berat, kita harus jujur bertanya:
Ini panggilan dari langit, atau hanya gema dari perut bumi yang terus kita korek tanpa malu?
Referensi:
Kompas.com, “PBNU Sambut Baik Izin Kelola Tambang untuk Ormas Keagamaan”, 5 Juni 2024
JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), Laporan Tahunan 2023
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), “Tambang dan Krisis Ekologis Indonesia”, 2022
PP No. 25 Tahun 2024 tentang Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan kepada Badan Usaha Ormas Keagamaan
Join the conversation