Selamat Datang di Malas Nulis

NU dan Kekuasaan: Dari Perjuangan Menuju Panggung

Refleksi sejarah NU dalam relasinya dengan kekuasaan: dari perjuangan membela kaum lemah hingga kedekatan dengan penguasa.

Dalam sejarah panjang bangsa ini, organisasi keagamaan sering kali memainkan peran yang jauh lebih besar dari sekadar lembaga sosial-keagamaan. Mereka hadir sebagai pengikat moral, penjaga tradisi, sekaligus penggerak perubahan sosial. Di antara banyak ormas Islam yang lahir dari rahim bumi nusantara, ada satu yang menempati ruang batin masyarakat paling dalam: organisasi yang tumbuh dari pesantren, dari debu jalanan kampung, dari dzikir dan doa kaum tani—yang sejak awal mengabdikan diri untuk umat.

Namun seperti segala yang hidup, ia tidak kebal dari perubahan. Ia lahir sebagai gerakan sosial, tumbuh menjadi kekuatan kultural, dan perlahan masuk ke dalam pusaran politik. Dari membela yang dilemahkan oleh sistem, kini ia justru berdiri sejajar dengan sistem itu sendiri. Dari kritik atas kekuasaan, menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri.

Akar yang Berpijak di Tanah Kaum Lemah

Organisasi ini berdiri pada masa ketika umat Islam sedang mengalami krisis identitas. Kolonialisme telah meluluhlantakkan tatanan sosial, dan berbagai paham luar mulai masuk tanpa menyentuh akar lokal. Maka muncullah kebutuhan akan sebuah gerakan yang mampu merawat Islam dalam bingkai budaya nusantara. Sebuah gerakan yang tidak melawan modernitas, tapi juga tidak tercerabut dari tradisi.

Dari sinilah muncul gagasan untuk mendirikan sebuah wadah yang menyatukan ulama pesantren, bukan untuk menandingi negara, melainkan untuk menjadi suara moral di tengah arus zaman. Sejak awal, organisasi ini bukanlah gerakan politik. Ia adalah gerakan peradaban—berbasis ilmu, akhlak, dan pengabdian kepada masyarakat bawah.

Masuk ke Panggung Politik: Perlu atau Terpaksa?

Ketika Indonesia merdeka, organisasi ini dihadapkan pada kenyataan baru. Negara memerlukan keterlibatan seluruh kekuatan sosial, termasuk organisasi keagamaan. Maka dimulailah babak baru: keterlibatan aktif dalam politik nasional.

Namun sejarah menunjukkan bahwa politik itu medan yang licin. Perjuangan membela umat kadang harus berhadapan dengan realitas kompromi, intrik, dan kekuasaan yang keras kepala. Akhirnya, setelah beberapa dekade, organisasi ini menarik diri dari politik praktis—kembali ke khittah, kembali ke jalan sunyi pelayanan sosial dan keagamaan.

Kehilangan Daya Kritik: Ketika Dekat Menjadi Dekapan

Dekat dengan kekuasaan bukan selalu salah. Tetapi ketika kedekatan itu melumpuhkan daya kritik, ketika suara-suara keadilan mulai redup demi menjaga posisi atau jabatan, maka yang dikorbankan adalah prinsip dasar organisasi itu sendiri: keberpihakan pada yang lemah.

Pada masa lalu, organisasi ini dikenal karena keberaniannya berdiri membela kaum minoritas, menyuarakan hak kelompok yang terpinggirkan, bahkan berani berbeda sikap dengan penguasa jika nuraninya berkata lain. Tapi kini, suara-suara itu mulai sayup, bahkan kadang menghilang. Yang muncul justru pembelaan terhadap kebijakan negara, meskipun kebijakan itu menyakiti rakyat.

Politik Identitas dan Alat Legitimasi

Kedekatan dengan kekuasaan juga membuka peluang bagi komersialisasi agama. Organisasi yang dulu menjadi benteng moral kini berisiko menjadi alat legitimasi politik. Label "kultural" digunakan untuk menjual suara, panggung agama digunakan untuk mengamankan kekuasaan, dan istilah-istilah sakral dijadikan alat kampanye.

Masih Adakah Jalan Kembali?

Namun tidak semua gelap. Di balik kemegahan struktur dan keheningan moral di tingkat atas, masih banyak pesantren kecil, ulama jalanan, dan santri yang setia menjaga api idealisme. Mereka mungkin tidak tampil di televisi, tidak duduk di kursi pemerintahan, tapi mereka tetap bekerja: mendidik anak-anak desa, membela petani, dan memberi harapan bagi yang nyaris putus asa.

Penutup: Untuk Siapa Kita Berdiri?

Pertanyaan ini tak bisa dijawab oleh pimpinan semata, tapi oleh setiap kader, setiap santri, setiap orang yang merasa menjadi bagian dari gerakan ini: untuk siapa kita berdiri?

Jika jawabannya masih untuk rakyat kecil, untuk kaum terpinggirkan, untuk keadilan dan keberagaman—maka saatnya suara-suara dari bawah kembali bangkit. Bukan untuk menjatuhkan siapa pun, tapi untuk mengingatkan: bahwa kekuasaan adalah alat, bukan tujuan. Dan bahwa keberpihakan sejati bukan ditentukan dari siapa yang kita dampingi, tapi dari siapa yang kita bela.