Selamat Datang di Malas Nulis

Negeri Kedaulatan Partai

Di negeri ini, partai politik sering kali mempunyai kuasa penuh atas segala kebijakan.


Di negeri ini, dahulu banyak sekali kegiatan yang—setidaknya di atas kertas—ditujukan untuk pengembangan sumber daya manusia. Pelatihan, workshop, seminar, program pemberdayaan. Semuanya dikemas dengan bahasa yang rapi dan niat yang terdengar mulia: demi meningkatkan kualitas rakyat. Tapi, seperti halnya banyak hal lain di negeri ini, apa yang terdengar mulia sering kali berubah arah saat menyentuh kenyataan.

Banyak dari kegiatan tersebut ternyata bukan sepenuhnya milik rakyat. Ia jadi milik partai. Di-handle, dikelola, bahkan diklaim oleh partai politik tertentu. Alhasil, tidak semua lapisan masyarakat bisa menikmati program-program itu secara merata. Yang diundang, yang disapa, yang diberi tempat duduk di barisan depan—biasanya adalah konstituen partai yang bersangkutan. Rakyat lainnya? Silakan menonton dari luar pagar, kalau sempat.

Suatu hari, di kota kami, digelar acara bertajuk “Workshop Pengemasan Makanan Kecil Produksi UMKM”. Judulnya terdengar menjanjikan. Pelaku UMKM semestinya diundang untuk meningkatkan kualitas produknya—terutama dari sisi tampilan dan kemasan. Tapi kenyataannya, yang datang justru wajah-wajah lama dari masa kampanye: eks relawan partai yang dulunya rajin membagikan stiker dan menempel baliho. Para pelaku UMKM asli? Ada, tapi mungkin hanya sekitar 25% dari total peserta.

Yang lebih menggelitik, acara itu ternyata jauh dari harapan. Bukannya fokus pada teknik pengemasan makanan yang bisa membantu pelaku UMKM bersaing di pasar, kegiatan justru bergeser arah—pelan tapi pasti—menjadi panggung orasi politik. Materi inti hanya disentuh sekenanya, sekadar formalitas pembuka. Setelah itu, giliran seorang tokoh yang mengambil alih mic dan mulai berbicara panjang lebar… bukan soal kemasan, tapi soal “masa depan bangsa” versi partainya.

Peserta pun akhirnya lebih banyak menyimak janji-janji manis ketimbang praktik pengemasan. Workshop yang mestinya bermanfaat untuk usaha, mendadak berubah menjadi kampanye berkedok pelatihan. Tidak jelas siapa yang lebih kecewa—peserta yang datang bawa harapan, atau narasumber yang tampaknya memang tak pernah berniat menyentuh topik utama.

Dan ini bukan kejadian tunggal.

Ada pula cerita lain soal program seperti Kartu Indonesia Pintar. Seharusnya ini bantuan pendidikan untuk keluarga yang benar-benar membutuhkan. Tapi apa yang terjadi? Beberapa keluarga miskin yang layak menerima justru tidak kebagian, hanya karena mereka tinggal di wilayah yang bukan basis suara partai pengusung program. Sementara di daerah “merah”, kartu bisa dibagikan bahkan sebelum diminta. Rakyat yang butuh? Bisa menunggu giliran… kalau ada.

Lalu belum lama ini, ketika hari raya Iduladha tiba, momen sakral penuh makna itu juga tak lepas dari panggung politik. Sejumlah legislator berqurban, lalu dengan penuh semangat membagikan daging sembari membagikan stiker, banner kecil, dan pesan-pesan politis yang dibungkus dalam doa. “Agar tahun depan bisa qurban lagi, mohon doanya agar kami kembali duduk di kursi dewan,” begitu kira-kira redaksi halusnya. Qurban yang mestinya jadi ibadah personal dan simbol keikhlasan, mendadak terasa seperti investasi politik: daging dibagi, suara dibeli—meski tentu saja tidak diakui secara eksplisit.

Ironisnya, semua ini berjalan nyaris tanpa pengawasan. Seolah aparat pemerintah kehilangan kaca pembesar dan lupa cara membaca laporan lapangan. Yang penting ada laporan, ada tanda tangan, ada foto kegiatan, dan ada stempel basah. Soal siapa yang menerima manfaat, itu urusan nanti.

Padahal, yang namanya wakil rakyat, pejabat daerah, dan semua orang yang pakai dasi di ruangan ber-AC itu digaji dari pajak rakyat. Dari uang semua orang—tak peduli siapa yang mereka pilih saat pemilu. Tapi entah kenapa, layanan publik terasa makin eksklusif, seolah hanya diperuntukkan bagi “anggota klub tertentu”.

Belum lagi soal anggaran. Dalam banyak program yang dibawa partai, selalu ada cerita “uang kembali” atau cashback dalam bentuk yang tidak tercantum dalam laporan resmi. Realisasi anggaran yang turun ke rakyat bisa-bisa hanya 75% dari yang ditetapkan pusat. Sisanya? Hilang dalam kabut birokrasi dan amplop-amplop tipis yang tidak pernah kosong. Tapi laporan pertanggungjawaban tetap harus rapi, sesuai jumlah yang dicairkan. Karena yang penting bukan siapa yang mendapat manfaat, tapi bagaimana caranya membuat semuanya tampak baik-baik saja di atas kertas.

Inilah potret negeri saat partai lebih berdaulat daripada rakyat. Ketika kegiatan publik dijadikan alat kampanye. Ketika bantuan sosial menjadi alat tebus loyalitas. Dan ketika hak rakyat bergantung pada warna bendera yang mereka pilih lima tahun lalu.