Menjual Duka Lara
Tapi masalahnya, sebelum itu semua, kita harus menonton dulu tayangan sedihnya.
Duka yang Dikemas, Lara yang Dijual
Layar ponsel kita hari ini tidak hanya berisi berita atau hiburan. Di sela-sela itu, ada wajah seorang anak—lemah, lusuh, tubuh kecil dengan selang infus atau kursi roda. Lalu teksnya menyayat hati:"Bantu adik ini agar bisa hidup seperti anak-anak lain."
Dan kita mulai goyah. Entah karena iba, entah karena malu kalau tidak klik. Tapi coba kita pikir sebentar: Anak itu sedang sakit, sedang menderita. Tapi wajah dan tubuhnya dijadikan alat presentasi. Ditampilkan agar kita tergugah. Apakah ini bantuan, atau pertunjukan?
Kita tidak tahu apakah foto itu diambil dengan izin, apakah si anak tahu wajahnya akan berseliweran di ribuan layar orang asing. Yang kita tahu: emosi kita dipancing. Bukan lewat penjelasan, tapi lewat gambar dan narasi yang dibuat untuk satu tujuan: klik dan transfer.
Kamera di Mana-Mana, Tapi Martabat Di Mana?
Foto-foto itu tidak asal jepret. Ada tim. Ada narasi. Kadang bahkan seperti sesi pemotretan. Yang penting, angle-nya pas. Sedihnya kelihatan. Kalau bisa, detail tubuhnya: kabel infus, bekas luka, air mata.Tapi siapa yang benar-benar melihat anak itu sebagai manusia? Siapa yang bertanya apakah ia nyaman difoto seperti itu? Apakah ia mengerti bahwa wajahnya akan beredar ratusan ribu kali di internet?
Dan kalau ia sudah meninggal, apakah keluarganya tahu bahwa fotonya masih dipakai untuk iklan donasi berbayar?
Penderitaan menjadi produk visual. Semakin menyayat, semakin efektif. Dalam bahasa pasar, itu disebut “konversi tinggi”. Dalam bahasa nurani, mungkin itu disebut pelecehan martabat.
Amal Rasa Konten
Donasi hari ini bukan lagi sekadar gerakan sosial. Lebih mirip kampanye digital yang diukur pakai metrik: tayangan, jangkauan, impresi, jumlah klik. Platform amal hari ini bukan sekadar wadah, tapi juga media. Dan logika media adalah: siapa yang tampil paling menyentuh, dialah yang paling cepat didanai.KitaBisa, WeCare, dan sejenisnya tentu punya banyak kisah baik. Banyak orang terbantu. Tapi itu tidak menghapus satu masalah: bahwa untuk “menjual penderitaan”, harus ada kurasi visual. Harus ada cerita yang menyentuh, dan tubuh yang siap ditampilkan.
Tubuh penderita menjadi etalase. Anak kecil menjadi umpan emosi. Dan empati kita dijadikan alat konversi.
Sedih Itu Laris: Antara Kitsch dan Hiperrealitas
Umberto Eco pernah bilang, kitsch adalah seni yang terlalu sentimental. Semua dibuat menyentuh, tapi dangkal. Kita merasa sesuatu, tanpa tahu kenapa.Estetika kitsch ini merasuki banyak kampanye donasi: musik latar yang mendayu, kata-kata seperti “ia hanya ingin bersekolah”, atau “ibunya hanya ingin anaknya sembuh”. Teks yang dirancang untuk menangkap hati, bukan untuk menjelaskan.
Sementara Baudrillard mengingatkan, kita hidup dalam dunia hiperrealitas—di mana citra menggantikan kenyataan. Kita tidak lagi peduli pada penderitaan sesungguhnya, tapi pada representasinya.
Kita menangis, tapi tidak berpikir. Kita transfer, tapi tidak tahu siapa yang dibantu. Kita merasa baik, tapi bukan karena terlibat—melainkan karena terbawa suasana.
Donasi menjadi perasaan. Empati menjadi performa. Amal menjadi hiburan moral.
QR Code dan Selfie Kepedulian
Akhir dari semua kampanye itu: QR code. Sekali scan, kita merasa lebih baik. Beberapa bahkan unggah bukti transfer. Caption-nya bijak, atau religius.“Jangan lupa bantu ya. Sedikit dari kita, sangat berarti buat mereka.”
Tapi setelah itu? Kita kembali scroll. Mungkin nonton video lucu. Mungkin belanja. Dan kampanye tadi menguap. Wajah anak itu menghilang. Yang tersisa hanya perasaan baik tentang diri kita sendiri.
Ini bukan empati. Ini selfie kepedulian.
Tapi Kan Banyak yang Terbantu?
Benar. Banyak yang terbantu. Banyak keluarga yang memang membutuhkan bantuan mendesak. Banyak juga penggalangan dana yang dikelola baik.Tapi apakah karena itu kita harus memaklumi cara-cara yang memajang tubuh anak-anak dalam keadaan paling rapuh?
Apakah karena ada hasil baik, maka semua cara sah? Apakah penderitaan bisa dikapitalisasi hanya karena tujuannya “mulia”?
Donasi Tanpa Eksploitasi: Mungkinkah?
Jawabannya: bisa. Sangat bisa. Kita bisa bantu tanpa harus melihat air mata lebih dulu. Kita bisa peduli tanpa harus dikasih tontonan luka.Banyak lembaga yang mengedepankan privasi, yang menekankan konteks, yang tidak memajang wajah pasien atau anak tanpa izin jelas. Tapi ya, mungkin tampilannya tidak se-viral kampanye yang penuh drama.
Tapi setidaknya, ia tidak menjual duka.
Penutup: Duka Tak Harus Jadi Etalase
Ini bukan soal menyalahkan siapa-siapa. Tapi soal mengingatkan: bahwa di balik setiap foto sedih, ada manusia. Bukan bahan iklan. Bukan alat kampanye.Penderitaan tidak perlu ditonton untuk diyakini. Kita bisa percaya bahwa orang sedang menderita tanpa harus melihat luka mereka. Kita bisa bantu, tanpa harus melihat mereka di layar.
Menolong bukan soal rasa kasihan, tapi soal keberpihakan. Dan keberpihakan yang tulus tidak perlu ditukar dengan visual yang menyayat.
Mari bantu. Tapi mari jaga martabat mereka. Jangan sampai demi rasa peduli, kita ikut menjual duka lara.
Baca Juga :-
Post a Comment