Masih Tentang Rumah Sakit: BOR yang Menjadi Tameng
Pihak rumah sakit selalu punya kalimat yang terdengar rapi dan meyakinkan. Direktur RSUD dr. Harjono Ponorogo, dr. Yunus Mahatma, pernah menyampaikan pernyataan resmi yang terdengar sangat percaya diri:
“Tahun ini kunjungan rawat inap meningkat, dari BOR 30 persen menjadi 60 persen. Penghasilan rumah sakit pun naik dari Rp. 90 miliar menjadi Rp. 170 miliar. Mana mungkin orang yang sukses itu berjudi, mabuk…”
Kalau hanya membaca kalimat itu, seolah semuanya sudah selesai. Rumah sakit ramai. Pelayanan berjalan lancar. Tidak ada pasien yang diabaikan. Angka-angka tumbuh seperti tanaman yang dipupuk baik-baik.
Tapi di banyak rumah sakit, ada satu kata yang terdengar suci dan tak boleh dipertanyakan: BOR. Bed Occupancy Rate. Tingkat keterisian tempat tidur. Angka yang konon bisa menjelaskan segalanya.
Ketika pasien mengeluh ditolak rawat inap, jawabannya:
“Maaf, BOR kami sudah penuh.”
Ketika keluarga protes karena antre di lorong berjam-jam, jawabannya sama:
“BOR naik drastis. Kami kewalahan.”
Ketika wartawan bertanya kenapa pelayanan lambat, BOR kembali dikutip sebagai tameng.
Padahal angka BOR itu tidak pernah bercerita lebih detail. BOR tidak pernah bilang kalau pasien yang antre itu sudah lemas dan keburu putus asa. BOR tidak pernah mencatat berapa orang yang pulang paksa karena kehabisan tenaga menunggu kamar. BOR juga tidak merekam tatapan keluarga yang mulai kehilangan harap.
BOR hanyalah angka. Angka yang mudah dipakai untuk memoles presentasi PowerPoint, membuat laporan tahunan lebih berwarna. Angka yang gampang dikutip di konferensi pers, seakan menjelaskan semuanya.
Tapi kalau kita mau jujur, angka itu tidak selalu sama dengan mutu. BOR tinggi bisa berarti banyak pasien yang datang. Bisa juga berarti sistem yang lambat, antrean yang panjang, atau manajemen yang setengah kacau. Angka yang tumbuh tidak otomatis membuat pelayanan lebih manusiawi.
Mungkin inilah mengapa BOR sering jadi tameng. Karena angka lebih mudah dipamerkan daripada mendengarkan satu-satu keluhan pasien. Karena statistik lebih gampang dijadikan alasan daripada mengakui bahwa pelayanan kadang tak seindah brosur. Karena angka tidak pernah protes. Angka tidak pernah menulis status di media sosial.
Dan di sinilah letak persoalannya. Ketika rumah sakit terlalu sibuk mengurus angka, pelan-pelan ia lupa merawat rasa percaya. Padahal kepercayaan itu bukan statistik. Ia tumbuh dari pengalaman yang sederhana: ditangani tepat waktu, dijelaskan dengan sabar, diperlakukan sebagai manusia.
Kalau semua kritik hanya dibalas data BOR, lama-lama orang akan berhenti berbicara. Mereka akan bilang, “Percuma. Yang dijaga hanya angka.”
Mungkin sebelum kita terlalu bangga dengan grafik yang meroket, ada baiknya menengok lorong-lorong itu. Lorong yang jadi saksi diam, bagaimana angka bisa tumbuh subur, sementara rasa sakit tetap tinggal di tempat yang sama.
Post a Comment