KUR Fiktif Ponorogo: Lebih Cepat Jadi Korban daripada Mencari Tersangka
Ponorogo Heboh Lagi
Ponorogo belum benar-benar reda. Setelah geger soal KTP yang konon bisa mencairkan pinjaman tanpa kehadiran pemiliknya, kini satu per satu tersangka mulai bermunculan. Tapi lucunya, yang lebih dulu muncul justru para korban.
Ya, di Ponorogo, rupanya jadi korban itu lebih mudah daripada jadi tersangka.
Tak Datang, Tapi Cair
Senin malam kemarin, Kejaksaan Negeri Ponorogo menetapkan dua nama baru sebagai tersangka dalam kasus KUR fiktif. NAF dan DSKW alias Leting. Keduanya disebut sebagai pihak luar bank, tetapi tahu banyak hal dalam. Yang satu membantu mengurus perubahan domisili, yang satu lagi rajin mengumpulkan identitas warga. Bukan untuk sensus, melainkan untuk dicairkan.
Sebelumnya sudah ada satu tersangka lain: SPP, mantan mantri BRI. Jumlahnya jadi tiga. Tapi korban yang tercatat sudah dua belas. Dan itu baru yang berani mengaku.
Yang janggal, dari semua proses pengajuan pinjaman, tidak satu pun dari korban merasa pernah dilibatkan. Tidak pernah tanda tangan, tidak difoto, tidak disurvei. Tapi tahu-tahu menerima tagihan.
Maka muncul pertanyaan polos:
Apakah mencairkan pinjaman kini tidak perlu survei?
Apakah mencetak ulang KTP bisa tanpa hadir?
KTP Bertenaga Dalam
Biasanya tidak bisa. Tetapi ini Ponorogo.
Di sini, kadang realitas harus menyesuaikan adat lokal.
Mungkin ini bukan pencairan biasa—melainkan pencairan melalui jalur spiritual.
Mungkin pula surveinya dilakukan dari jarak jauh. Petugas bank bisa melihat rumah peminjam dari mimpi. Usahanya dicek lewat getaran aura. Tanda tangannya dianggap “tanda restu leluhur”.
Dan yang paling ajaib: KTP bisa dicetak tanpa pemiliknya datang. Tanpa sidik jari ulang. Tanpa foto ulang. Tanpa tanda tangan di tempat.
Maka publik pun mulai menduga—jangan-jangan ini kerjaan thuyul kang katon, nduwè raga.
Makhluk halus, tetapi berfisik. Bisa masuk sistem, mengisi formulir, mengurus KTP dan pinjaman, tetapi tidak bisa dikenali kamera CCTV. Kalaupun terekam, mungkin dikira staf magang.
Tapi mungkin juga memang warisan lokal. Ini tanah warok. Kalau warok bisa mengangkat kerbau, masak mencetak KTP saja tidak bisa?
Mungkin memang dicetak menggunakan tenaga dalam. Aura leluhur mengalir lewat jaringan fiber optik Dukcapil.
Penyidikan Ala Jawa
Sementara itu, penyidik terus bekerja. Pelan. Halus.
Mungkin memang harus begitu.
Karena yang dihadapi bukan pelaku biasa, tapi makhluk administratif berenergi gaib.
Maka dari itu, prosesnya tidak bisa terburu-buru.
Obo rampe kudu genep.
Kemenyan, sesaji, surat izin pemeriksaan, restu atasan dan jangan lupa.... restu leluhur. Semua harus seimbang.
SLIK Bisa, Tapi Lolos Juga
Sebelum mencairkan pinjaman, bank biasanya wajib memeriksa riwayat kredit nasabah. Nama prosesnya dulu dikenal sebagai BI Checking—sekarang lebih keren disebut SLIK OJK, singkatan dari Sistem Layanan Informasi Keuangan. Fungsinya sama: melacak apakah seseorang pernah punya utang, pernah menunggak, atau terlalu sering menunda cicilan.
Yang menarik, SLIK OJK ini bahkan bisa mendeteksi jika seseorang pernah meminjam uang dari aplikasi pinjol resmi. Tetapi dalam kasus ini, nama-nama warga bisa lolos begitu saja. Padahal mereka tidak pernah mengajukan pinjaman, apalagi sampai menunggak. Yang jelas otomatis, yang bermain di sini benar-benar tahu jika calon korban mereka tidak pernah mempunyai track record buruk di SLIK OJK atau BI Checking tadi. Berarti ya...anda tahu sendiri...
Korban yang Malang
Jadi korban itu sudah cukup menyakitkan. Tetapi yang lebih pahit adalah: sistem perbankan yang katanya ketat dan digital itu justru tidak mampu membedakan mana orang yang benar-benar mengajukan pinjaman, dan mana yang bahkan tidak tahu namanya sedang digunakan.
Mereka tidak sedang bermasalah keuangan. Tetapi bisa-bisa skor kredit mereka rusak. Reputasi mereka hancur. Dan yang lebih parah lagi—mereka ditagih atas pinjaman yang tak pernah mereka minta.
Sementara itu, pelaku masih dalam proses pendalaman.
Aji Panglemunan Finansial
Mungkin karena bersih.
Mungkin juga karena... memakai aji panglemunan.
Dulu, aji panglemunan digunakan untuk menghilangkan diri dari pandangan musuh. Sekarang, mungkin digunakan untuk menghilang dari sistem. Tidak terlihat saat mencetak KTP, tidak tampak saat BI Checking, tetapi nyata saat uang cair ke rekening.
Kepala Kejari Ponorogo menyebutkan bahwa ini bukan sekadar kelalaian. Sudah mengarah pada jaringan. Rapi, sistematis, dan disebut-sebut sudah berlangsung sejak tahun 2024. Maka ini bukan peristiwa iseng. Ini sudah menyerupai bisnis.
Kalau sudah berbentuk bisnis, tentu ada yang memperoleh keuntungan.
Yang jelas bukan warga dan korban. Mereka kebingungan tiap kali menerima potongan dari rekening.
Cicilan berjalan. Pemilik KTP hanya bisa melongo.
Dan pelaku?
Masih dalam pendalaman.
Tapi ya begitulah. Di Ponorogo, kita hanya bisa menerima.
Yang melapor ditanya buktinya.
Yang mencairkan bilang lupa.
Yang menyelidiki masih menyusun berkas.
Mungkin sedang menunggu wangsit.
Semoga saja, mereka yang mencairkan dana memakai nama orang lain, suatu hari bisa mencairkan dosa memakai pertobatan.
Tapi sayangnya...
bank tidak menerima tobat.
Cuma menerima uang setoran cicilan.
Post a Comment