-->

KUR Fiktif, BOS Bocor di Sekolah: Ponorogo dan Wajah Kita


Dari KUR fiktif hingga dana BOS menguap, Ponorogo memperlihatkan bahwa korupsi bukan sekadar berita, tapi cermin dari cara kita memperlakukan kepercayaan publik.

Ada dua kabar dari Ponorogo yang semestinya membuat kita berhenti sejenak. Bukan karena baru pertama kali terjadi, tapi justru karena sudah terlalu sering. Kasus pertama soal kredit usaha rakyat (KUR) fiktif di BRI Unit Pasar Pon. Yang kedua—dan lebih mencolok—adalah skandal penyalahgunaan dana BOS di SMK PGRI 2 Ponorogo. Totalnya tak main-main: lebih dari Rp 25 miliar diduga menguap entah ke mana. Dua wajah dari satu gejala: uang negara yang bocor, dan kita yang terlalu biasa melihatnya.

Mari kita mulai dari angka-angka.

Dana BOS yang Menguap dan Publik yang Diam

Audit dari Kejaksaan menyebut, selama lima tahun terakhir, dana BOS yang seharusnya masuk ke SMK PGRI 2 Ponorogo mencapai Rp 25,8 miliar. Tapi bukannya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dana ini justru diduga diselewengkan. Kepala sekolah telah ditetapkan sebagai tersangka, dan kejaksaan menyita 14 kendaraan serta aset senilai Rp 3,1 miliar. Tapi mari kita jujur saja: yang baru disita itu cuma sekitar 12 persen. Sisanya? Masih hilang dalam kabut.

Kalau ditanya siapa yang dirugikan, jawabannya jelas: 2.512 siswa, dan tentu saja orang tua mereka. Jika dirata-ratakan, setiap anak kehilangan haknya atas Rp 10 juta dalam lima tahun. Tapi bukan kehilangan uang tunai. Mereka kehilangan buku, praktik, fasilitas, guru berkualitas, dan pengalaman belajar yang semestinya bisa mereka dapatkan. Itu kerugian yang tak bisa dihitung cuma dengan kalkulator.

Yang menyedihkan, banyak dari orang tua siswa bahkan tidak sadar bahwa dana ini semestinya menjadi hak anak mereka. Mereka membayar iuran tambahan, menjual hasil panen, meminjam uang untuk membayar sekolah swasta. Karena sekolah swasta, meski katanya gratis dengan BOS, nyatanya tidak benar-benar gratis. Dan karena tak tahu, mereka pun diam. Pasrah.

Dari Sekolah ke Bank: Skenario yang Berulang

Kita juga masih mencatat satu bab lain dari Ponorogo: KUR fiktif. Seorang mantan mantri BRI, bersama dua nama lain, membuat dokumen palsu dan mencairkan kredit tanpa sepengetahuan warga. Total kerugian negara mencapai ratusan juta rupiah. Kejaksaan kini menahan satu tersangka, satu lagi masih mangkir, dan dokumen-dokumen di Dispendukcapil ikut diperiksa.

Polanya mirip: manipulasi dokumen, pemanfaatan celah sistem, dan kepercayaan yang dikhianati. Bedanya, satu terjadi di perbankan, yang satu lagi di dunia pendidikan. Tapi muaranya sama: uang rakyat lenyap.

Di Mana Pengawas? Atau Jangan-Jangan Ikut Bermain?

Kasus ini bukan semata tentang pelaku. Kita perlu menoleh ke pihak yang seharusnya mengawasi. Ke mana dinas pendidikan? Ke mana inspektorat? Ke mana pengawas dari Kemendikbudristek? Selama lima tahun, laporan pertanggungjawaban diterima begitu saja, tanpa tanda tanya?

Atau mungkin pertanyaannya bukan "di mana", tapi "dapat apa"? Sebab dalam banyak kasus, perkara bisa "diamankan" dengan pembagian yang rapi. Korupsi semacam ini sering kali bukan kerja satu-dua orang, tapi skema berjamaah. Dan yang bisa membuat perkara senyap adalah mereka yang mestinya menyuarakan kejanggalan.

Publik yang Pelupa, Koruptor yang Menunggu

Mereka yang mengambil dana BOS tahu bahwa publik kita pendek ingatan. Ramai sebentar di media, lalu hilang. Orang-orang sibuk kembali dengan harga beras dan potongan cicilan motor. Para pelaku pun tinggal menunggu badai reda untuk bisa menikmati hasil curian dengan nyaman.

Yang mereka khianati bukan cuma siswa. Tapi seluruh kepercayaan masyarakat terhadap sekolah sebagai tempat mencerdaskan. Jika sekolah saja bisa ikut mencuri, kepada siapa lagi kita bisa percaya?

Kita yang Menonton, Kita yang Diam

Mungkin kita marah, tapi hanya sebatas emoji. Mungkin kita prihatin, tapi lalu pindah ke cerita lain. Karena dalam banyak kasus, publik hanya jadi penonton yang baik. Dan dalam masyarakat yang terbiasa menonton, kejahatan pun tak merasa perlu bersembunyi rapat-rapat. Cukup disembunyikan setengah hati.

Kita membiarkan kepala sekolah yang nakal tetap dianggap berprestasi. Kita membiarkan laporan dana BOS menjadi formalitas tahunan yang tak pernah benar-benar dibaca. Dan kita menganggap diam adalah cara terbaik agar tidak ikut repot.

Penutup: Cermin Retak di Ruang Kelas

Ponorogo sedang membuka cermin besar untuk kita semua. Di situ tergambar wajah-wajah yang mengambil hak anak-anak, wajah yang membiarkan, dan wajah-wajah kita sendiri yang menonton.

Korupsi dana BOS bukan hanya soal hukum. Ia soal etika, soal masa depan, soal bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita. Dan jika kita terus membiarkan uang itu menguap begitu saja, maka yang hilang bukan cuma rupiah, tapi harapan.

Bukan hanya Ponorogo yang perlu berubah. Kita semua.

Baca Juga :-
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART