-->

Kita adalah Produk yang Diperjualbelikan Tanpa Sadar



Seberapa sering kita mengunggah foto, video, atau sekadar memperbarui status di media sosial? Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa setiap aktivitas kita di dunia maya sebenarnya ada “biayanya”. Coba bayangkan—setiap kali kita memotret menggunakan ponsel, ruang penyimpanan akan perlahan berkurang. Hal yang sama terjadi saat kita mengunggah konten ke media sosial. Meskipun tidak terlihat secara langsung, kita sebenarnya sedang memakai ruang penyimpanan milik platform tersebut. Berapa ongkos sewa yang harus kita bayar untuk ruang penyimpanan di platform tersebut?. Gratis, tentunya. Ohh...tidak segratis itu, Kawan....

Menariknya, tidak seperti ponsel kita yang sering memperingatkan jika memori hampir penuh, media sosial nyaris tak pernah mengeluhkan hal serupa. Kita bisa terus-menerus mengunggah tanpa batas, seolah ruang penyimpanan mereka tidak ada habisnya. Tapi, benarkah semuanya gratis? Dari mana sebenarnya biaya untuk menyimpan semua data itu datang? Kelihatannya gratis… tapi tunggu dulu...

Ada satu kalimat yang terdengar sinis tapi  lumayan mengena tentang dunia digital:

“Jika sesuatu itu gratis, maka kemungkinan besar kamulah (atau kita) produknya.”

Sekilas terdengar seperti peringatan klise. Tapi jika kita beri ruang sejenak dalam pikiran, kalimat itu bisa menjadi awal dari sebuah kesadaran yang dalam—dan, mungkin juga, tidak nyaman.

Kita hidup di zaman yang memanjakan. Segalanya tampak tersedia di ujung jari. Mau berbicara dengan teman yang tinggal di benua lain? Tinggal buka aplikasi. Mau tahu cuaca, jadwal kereta, hingga makanan yang sedang tren minggu ini? Semua bisa kita akses dalam hitungan detik, tanpa perlu mengeluarkan uang.

Kita pun terbiasa menganggap layanan digital sebagai sesuatu yang memang seharusnya gratis. Tanpa memikirkan terlalu dalam bagaimana cara platform-platform ini bisa bertahan—dan lebih dari itu, bisa tumbuh menjadi raksasa dengan nilai pasar triliunan dolar.

Jawabannya sederhana, sekaligus rumit: mereka tidak menjual produk kepada kita. Mereka menjual kita sebagai produk kepada pihak lain.

Setiap hari, tanpa sadar, kita meninggalkan jejak digital. Bukan hanya lewat hal besar seperti unggahan atau komentar, tapi juga dari hal kecil—apa yang kita cari, berapa lama kita menonton sebuah video, iklan mana yang membuat kita berhenti sejenak. Semua itu adalah potongan-potongan kecil dari diri kita, yang kemudian dikumpulkan menjadi profil digital yang sangat rinci.

Dari profil itu, mesin dapat memprediksi siapa kita, apa yang kita inginkan, bahkan apa yang mungkin akan kita lakukan. Tak berhenti di sana, prediksi ini kemudian digunakan untuk mempengaruhi keputusan kita—iklan mana yang ditampilkan, berita mana yang dimunculkan lebih dulu, bahkan opini mana yang perlahan ditanamkan lewat algoritma.

Pada titik ini, kita tak lagi hanya "menggunakan" teknologi. Kita sedang dibentuk olehnya. Kita tidak sepenuhnya bebas menentukan arah perhatian kita, karena algoritma telah terlebih dahulu memutuskan mana yang paling mungkin membuat kita bertahan lebih lama. Dan semakin lama kita bertahan, semakin tinggi nilai kita bagi para pengiklan, politisi, atau siapa pun yang membeli ruang pengaruh dalam platform itu.

Yang membuat ini semua begitu licin dan sulit disadari adalah karena ia tidak terlihat. Kita tidak merasakan sedang membayar apa pun. Kita merasa sedang bersenang-senang, atau setidaknya, sedang menjalani hari seperti biasa. Padahal perlahan, mungkin tanpa sadar, kita sedang menyerahkan privasi, otonomi, bahkan kebebasan berpikir.

Maka, wajar jika kita mulai bertanya:

Apakah kenyamanan yang kita rasakan ini benar-benar gratis?
Atau ada harga yang tak kasat mata yang diam-diam terus kita bayar setiap hari?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak selalu punya jawaban langsung. Tapi setidaknya bisa menjadi penanda bahwa kita mulai terjaga. Bahwa kita mulai melihat pola besar yang sebelumnya tersembunyi di balik desain antarmuka yang manis dan notifikasi yang ramah.

Teknologi bukan musuh. Internet, media sosial, dan berbagai aplikasi yang kita gunakan juga bukan hal jahat secara inheren. Banyak hal baik lahir dari dunia digital: koneksi, pengetahuan, peluang. Tapi seperti alat apapun, semuanya tergantung pada bagaimana dan untuk apa ia digunakan—dan siapa yang diuntungkan darinya.

Di sinilah pentingnya kesadaran. Kesadaran bahwa kita bukan hanya penonton pasif dalam lanskap digital ini. Kita adalah bagian dari ekosistem yang terus bergerak dan saling memengaruhi. Dan semakin kita sadar posisi kita di dalamnya, semakin besar peluang untuk menjaga kendali atas diri kita sendiri.

Karena dalam dunia yang serba terkoneksi ini, kesadaran adalah bentuk kebebasan yang paling awal. Dan mungkin juga, yang paling penting.

Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART