Keausan yang Disengaja
Pernah mendengar cerita soal Centennial Bulb, bola lampu di gedung Pemadam Kebakaran di kota Livermore, California telah menyala sejak tahun 1901 dan masih dalam kondisi bagus hingga saat ini?, lantas, kenapa bola lampu yang kita miliki bisa cepat mati?
Atau pernah merasa barang elektronik di rumah mulai “rewel” padahal belum terlalu lama dipakai? Ponsel mulai lambat, printer mogok tanpa sebab, atau laptop tidak lagi bisa menerima pembaruan sistem. Rasanya seperti ada yang tidak beres—barang belum rusak, tapi seolah dipaksa tidak berguna.
Ternyata, itu bukan sekadar perasaan. Ada istilah untuk ini: planned obsolescence, atau dalam bahasa yang lebih sederhana: keausan yang disengaja.
Apa sebenarnya keausan yang disengaja?
Keausan disengaja adalah praktik di mana produsen merancang suatu produk—terutama barang elektronik—agar tidak bertahan lama. Bukan karena teknologinya terbatas, tetapi memang sengaja dirancang memiliki “umur pakai” tertentu. Setelah melewati batas itu, performanya menurun, dukungan perangkat lunaknya dihentikan, atau komponennya sulit diperbaiki.
Tujuannya? Agar konsumen membeli produk baru.
Meskipun terdengar sinis, praktik ini nyata. Pada tahun 2017, Apple mengakui bahwa mereka memperlambat kinerja iPhone lama melalui pembaruan perangkat lunak—dengan dalih melindungi baterai. Pengakuan ini memicu gugatan hukum di sejumlah negara.
Bentuk-bentuk keausan yang disengaja
- Pembaruan sistem yang dibatasi – Perangkat lama tidak lagi mendapat update, membuatnya tidak kompatibel dengan aplikasi atau fitur baru.
- Komponen yang sulit diperbaiki – Seperti baterai tanam yang tidak bisa diganti sendiri, atau layar yang “disegel” rapat.
- Masa pakai buatan – Contohnya printer yang berhenti berfungsi setelah jumlah cetakan tertentu, bukan karena rusak, tetapi karena dibatasi oleh sistem internal.
- Kasus seperti ini tidak sedikit. Beberapa produsen printer bahkan sempat dituntut karena diduga menanamkan chip penghitung halaman cetak.
Mengapa ini dilakukan?
Dunia modern bergerak dengan logika pertumbuhan yang terus-menerus. Mesin ekonomi tidak boleh berhenti. Jika suatu produk terlalu tahan lama, pasar akan jenuh. Maka dibuatlah “siklus pembaruan”—di mana kita, tanpa sadar, digiring untuk terus membeli versi terbaru. Logika ini menanamkan satu hal dalam benak kita: bahwa sesuatu yang sudah tua pasti kalah dari yang baru. Padahal, jika kita jujur, banyak sekali perangkat yang masih berfungsi prima jika dirawat dengan benar.
Ketika Barang Menjadi Penanda Nilai
Dalam dunia yang makin terhubung tapi terasa semakin sunyi, barang-barang yang kita miliki sering menjadi semacam identitas. Jenis ponsel yang kita genggam, merek laptop yang kita bawa ke kafe, model sepatu atau earphone yang kita pakai—semua itu seolah menjadi simbol bisu tentang siapa kita, atau setidaknya, siapa yang ingin kita tampilkan kepada dunia.
Tanpa disadari, muncul tekanan halus: jika kita tidak terus memperbarui, maka kita dianggap “tertinggal.” Tidak hanya dalam hal teknologi, melainkan juga dalam arus sosial. Seorang teman pernah bercerita bahwa ia merasa canggung membawa laptop lamanya ke ruang kerja bersama, padahal perangkat itu masih sangat fungsional. Kekhawatirannya bukan semata pada performa laptop, melainkan pada persepsi orang lain.
Ini bukan cerita satu atau dua orang saja. Ini adalah rasa asing yang menyusup di tengah masyarakat yang terlalu sibuk memperbarui barang, sampai lupa bagaimana caranya merasa cukup.
Keusangan sebagai Rasa, Bukan Fakta
Pada titik tertentu, keusangan tidak hanya bersifat teknis—ia menjadi sebuah perasaan. Kita merasa ketinggalan. Kita merasa “kurang keren.” Kita merasa bahwa barang yang kita miliki, meskipun masih berfungsi, sudah tidak layak tampil di depan publik. Rasa ini terbentuk secara sistematis. Iklan tidak hanya menjual produk; mereka juga menjual ketakutan—ketakutan akan tertinggal, ketakutan akan terlihat usang, ketakutan bahwa kita tidak lagi relevan di tengah dunia yang terus bergerak cepat.
Dari rasa takut itu, tumbuhlah kebiasaan untuk terus membeli. Bukan karena kebutuhan, tetapi karena kita tidak ingin menjadi satu-satunya yang bertahan dengan sesuatu yang lama. Padahal, siapa bilang yang lama itu kalah?
Dampaknya bagi kita?
Limbah elektronik meningkat – Setiap tahun, dunia menghasilkan lebih dari 50 juta ton limbah elektronik.
Biaya tersembunyi – Kita membeli lebih sering, bukan karena kebutuhan, tetapi karena sistem yang membuat barang lama tidak lagi berfungsi optimal.
Keterbatasan kendali – Jika kita tidak bisa memperbaiki atau memodifikasi perangkat sendiri, maka sesungguhnya kita hanya “menyewa” produk yang kita beli.
Apa yang bisa kita lakukan?
Memang sulit melawan sistem yang sudah terbentuk. Namun, sebagai konsumen, kita tetap memiliki ruang untuk memilih dengan lebih sadar.
Berikut beberapa tips sederhana agar tidak mudah terjebak dalam siklus keausan disengaja:
- Pilih produsen yang mendukung perbaikan mandiri
- Utamakan perangkat dengan komponen yang dapat diganti
- Tanyakan soal dukungan perangkat lunak
- Gunakan barang selama masih berfungsi dengan baik
- Dukung gerakan “Right to Repair”
Lantas....
Teknologi seharusnya memudahkan hidup, bukan membuat kita tergantung secara tidak sadar. Ketika perangkat yang kita beli dirancang untuk cepat usang, kita perlu lebih waspada: jangan sampai kita menjadi bagian dari siklus konsumsi yang tidak kita pilih secara sadar.
Bukan berarti kita harus anti-teknologi. Bukan pula nostalgia kosong terhadap barang-barang lawas. Namun, memilih untuk mempertahankan yang lama bisa menjadi tindakan kecil yang bermakna. Ini adalah bentuk kesadaran bahwa tidak semua yang baru selalu lebih baik, dan tidak semua yang lama harus dibuang begitu saja.
Di tengah budaya yang menekankan “update terus-menerus”, menyadarkan diri bahwa “yang lama pun masih cukup” bisa menjadi perlawanan sunyi—tapi berisi. Karena pada akhirnya, tidak memerlukan fitur terbaru bukanlah satu-satunya tolok ukur kemajuan. Kadangkala, justru dalam mempertahankan dengan bijak kita menemukan kedalaman makna yang sejati.
Barang boleh tua, asal kita tetap waras.
Post a Comment