Selamat Datang di Malas Nulis

Jualan Pecel Lele di Trotoar? Awas Dituduh Korupsi!

Pecel lele di trotoar bisa dijerat UU Tipikor? Tafsir hukum makin kreatif, lele pun bisa kena pasal. Satir ini meluruskan logikanya.

Di sebuah sidang Mahkamah Konstitusi yang biasanya hanya menggetarkan fakultas hukum dan mahasiswa semester akhir, tiba-tiba muncul kalimat mengejutkan: "Penjual pecel lele di trotoar bisa dijerat UU Tipikor."

Pernyataan itu datang dari Chandra M. Hamzah, mantan pimpinan KPK, bukan dari pengamat Twitter atau seleb TikTok. Ia tak sedang menghina tukang lele, melainkan sedang menyentil betapa longgarnya tafsir hukum di negeri ini.

Pertama, mari kita pahami dulu maksudnya.

Chandra tidak sedang meminta KPK mengejar gerobak pecel lele. Ia sedang mengkritik betapa pasal-pasal dalam UU Tipikor bisa terlalu luas tafsirnya. Kata "setiap orang" di pasal tersebut bisa berarti siapa saja—tanpa melihat apakah ia pejabat atau pedagang. Dan kalau dianggap "merugikan keuangan negara", maka... semua bisa masuk daftar tunggu Lapas Sukamiskin.

Tentu ini bukan ancaman langsung. Tapi bayangkan jika hukum ditafsirkan seperti itu, betapa absurd keadilan kita nanti. Karena dengan tafsir serampangan, orang yang tidak tahu apa-apa bisa kena pasal apa saja.

Kedua, muncul kegaduhan di publik.

Media, seperti biasa, menangkap potongan pernyataan tanpa menyisipkan konteks. Judul-judul berita menggelegar seperti sambal pecel: “Penjual Pecel Lele Bisa Dijerat UU Tipikor!” Reaksi netizen terbagi dua: yang marah dan yang menertawakan. Sementara itu, para pedagang lele memilih diam—seperti biasa, mereka tahu ribut bukan solusi.

Ketiga, KPK turun tangan meluruskan.

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menegaskan bahwa tukang pecel lele tidak termasuk subjek hukum UU Tipikor. Mereka tidak mengatur anggaran negara, tidak mengadakan proyek fiktif, dan tidak main markup sambal. Maka, mereka tidak mungkin dijerat pasal korupsi.

Ini penting. Sebab jika tidak diluruskan, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada hukum—dan yang lebih fatal, pada akal sehat.

Keempat, mari kita renungkan.

Masalahnya bukan di lele atau trotoar. Masalahnya adalah pada rumusan hukum yang kabur dan bisa dipelintir sesuai keinginan. Pasal korupsi seharusnya digunakan untuk menjerat perampok uang negara, bukan tukang gorengan di pinggir jalan.

Jika hukum dibuat tanpa batas yang jelas, maka yang kecil bisa mudah ditangkap, dan yang besar bisa mudah lolos.

Jangan sampai kita membiarkan hukum menjadi seperti jaring yang berlubang besar di atas, rapat di bawah: tikus berdasi melenggang, rakyat kecil terjerat.

Kesimpulan

Pernyataan Chandra adalah alarm, bukan ancaman. Ia ingin mengatakan: “Mari kita perbaiki undang-undang agar tidak membahayakan orang yang seharusnya dilindungi.” Dan dalam negeri hukum, kalimat seperti itu seharusnya dirayakan, bukan dipelintir.

Dan buat para penjual pecel lele: tenang saja. Anda masih bisa berjualan malam ini. Yang perlu takut pada UU Tipikor bukanlah kalian, tapi mereka yang doyan tanda tangan di atas anggaran siluman.