-->

Hasan dan Husein “Terlupakan” di Majelis Sholawatan. Kenapa?


Kalau kita sering datang ke majelis sholawat atau menonton video dakwah para Habib, kita akan disuguhkan dengan banyak kisah penuh cinta. Tentang Nabi Muhammad SAW, tentang sayyid-sayyid yang penuh karomah, atau tentang rindu yang mendalam kepada sosok Sang Rasul. Semua dibawakan dengan gaya yang menyentuh hati.

Tapi ada satu hal yang menarik untuk diperhatikan. Dari sekian banyak kisah yang dibawakan, jarang sekali kita mendengar cerita tentang Sayyidina Hasan dan Husein, dua cucu kesayangan Nabi. Bahkan bisa dibilang, panggung-panggung dakwah yang penuh cinta itu cukup “sepi” dari kisah-kisah perjuangan Ahlul Bait yang paling awal.

Padahal, Hasan dan Husein bukan tokoh sembarangan. Mereka adalah penjaga garis keturunan Nabi. Mereka bukan hanya keluarga darah, tapi juga simbol keteguhan hati, keberanian, dan kesetiaan kepada prinsip Islam yang murni.

Lalu pertanyaannya: kenapa kisah mereka jarang dibicarakan?

1. Khawatir Terjebak Isu Mazhab

Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa kisah tentang Hasan dan Husein—terutama Sayyidina Husein yang gugur di Karbala—sering diasosiasikan dengan Syiah. Banyak dari kita yang secara refleks langsung merasa “tak enak” hati kalau mendengar kisah itu diangkat, seolah-olah sedang menyebarkan paham yang berbeda dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Padahal kalau kita jujur, sejarah Hasan dan Husein juga ada dalam buku-buku rujukan Sunni. Kisahnya tidak eksklusif milik Syiah. Mereka adalah cucu Nabi, yang dicintai oleh semua umat Islam dari berbagai golongan. Namun, karena terlalu lama narasi itu diidentikkan dengan kelompok tertentu, akhirnya sebagian dai dan fans Habib memilih diam—daripada menimbulkan salah paham.

2. Ceritanya Terlalu “Berat” untuk Suasana Majelis

Suasana majelis sholawat biasanya syahdu, penuh cinta, kadang dibumbui canda, tapi intinya selalu ingin membuat hati tenang dan rindu kepada Rasulullah. Nah, kisah Hasan dan Husein, terutama tragedi Karbala, penuh darah, tangisan, dan pertumpahan nyawa. Tidak semua orang siap mendengar cerita tentang cucu Nabi yang dipenggal kepalanya, atau anak-anak kecil yang kehausan di padang pasir.

Bagi sebagian penceramah, cerita semacam itu terasa “mengganggu” suasana. Terlalu sedih, terlalu keras, terlalu tragis. Akhirnya, yang dibawakan hanya sisi-sisi manis perjuangan para Habib sekarang, atau nostalgia tentang kerinduan kepada Nabi yang lebih “aman” secara emosi.

Padahal, dari kisah tragis itu justru kita bisa belajar makna keberanian dan keikhlasan yang luar biasa.

3. Fokus Lebih ke Figur Habib Kontemporer

Di banyak majelis, kisah tentang para Habib yang hidup di abad modern lebih sering dibahas. Misalnya, Habib yang bisa membaca hati orang, Habib yang dikenal sangat santun, Habib yang punya ribuan murid dari berbagai belahan dunia, Habib yang bisa menurunkan rantai emas dari langit atau Habib yang bisa bernegoisasi dengan malaikat. Semua itu memang inspiratif dan tidak ada yang salah.

Tapi kadang fokus itu terlalu dominan, sampai melupakan tokoh-tokoh awal Ahlul Bait yang justru menjadi fondasi sejarah keluarga Nabi. Hasan dan Husein seakan tenggelam di balik gemerlap kisah-kisah masa kini. Padahal, tidak ada Habib hari ini tanpa garis sejarah yang panjang—dan di sanalah Hasan dan Husein berdiri sebagai pilar.

4. Minimnya Literasi Sejarah Islam di Kalangan Umum

Harus diakui, tidak semua orang akrab dengan sejarah Islam secara utuh. Banyak dari kita hanya tahu sepenggal-sepenggal, dari potongan ceramah atau media sosial. Cerita tentang Hasan-Husein pun jarang ditulis dalam bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Akhirnya, para pembicara pun enggan menyentuh tema itu karena khawatir membingungkan jamaah atau malah dianggap “aneh” sendiri.

Padahal kalau dikemas dengan tepat, kisah Hasan dan Husein bisa menjadi pelajaran hidup yang sangat dalam. Tentang integritas, cinta, kesetiaan, dan bagaimana menghadapi ketidakadilan dengan kepala tegak.

Menyuarakan yang Terlupakan

Bukan berarti semua majelis atau fans Habib menutup telinga soal kisah Hasan dan Husein. Ada juga yang menyelipkannya dengan hati-hati, dengan pendekatan cinta, bukan kemarahan. Tapi suara itu masih kecil. Masih kalah nyaring dibanding kisah cinta yang “aman” atau pujian yang tidak menyinggung sisi sejarah yang getir.

Mengangkat kembali kisah Hasan dan Husein bukan soal memihak mazhab tertentu. Ini soal menyambung sejarah, menyatukan cinta kita kepada Rasulullah secara utuh—dari dirinya, keluarganya, hingga para pewaris ilmunya. Sebab tidak mungkin kita mencintai Nabi, tapi melupakan cucu-cucunya yang rela mati demi menjaga kehormatan keluarga beliau.

Sudah waktunya, panggung-panggung cinta itu juga memberi ruang bagi kisah yang terlupakan. Karena cinta sejati bukan cuma soal manisnya rindu, tapi juga tentang berani menghadapi luka dan tetap berdiri untuk kebenaran.


Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART