Harga Hidup di Negeri Statistik yang “Lentur”
Di negeri ini, harga hidup bukan ditentukan oleh kenyataan, tapi oleh angka yang bisa dinegosiasikan.
Menurut BPS, garis kemiskinan Indonesia pada 2024 adalah Rp 595.242 per bulan per kepala. Artinya, selama kamu bisa hidup dengan Rp 20 ribu sehari, kamu belum miskin. Bahkan kalau bisa masih kerja serabutan sambil makan mi instan, negara bisa bangga: "Warga kami mandiri!"
Tapi tunggu dulu. Pernahkah para pencatat angka itu mencoba hidup seminggu saja dengan 140 ribu? Beli beras, lauk, sabun, token listrik, pulsa, air galon. Bisa?
Statistik yang Lentur, Realitas yang Kaku
Di atas kertas, angka kemiskinan kita terus menurun. Dari 9,03% jadi 8,57%. Tapi coba lihat sekitar. Masih banyak yang jualan gorengan sambil gendong anak. Masih ada yang makan nasi pakai garam, dan itu pun bukan karena sedang diet.
Sementara itu, angka lain muncul dari layar infotainment: Sule memberi Rp 25 juta per bulan untuk anaknya, Adzam. Sebagian orang bilang itu berlebihan. Sebagian lagi bilang wajar, namanya juga anak artis.
Tapi mari kita bandingkan diam-diam:
- Adzam hidup dengan 25 juta untuk satu bulan.
- Jutaan keluarga miskin harus berbagi satu juta untuk berlima. Bahkan kadang, kurang.
Bukan soal iri. Tapi soal rasa adil yang terasa semakin absurd.
Kehidupan yang Tidak Masuk Statistik
Anehnya, justru mereka yang tak masuk hitungan “miskin” itu sering kali yang paling tahu caranya hidup. Di sudut-sudut gang kota, di pinggiran rel, di ujung sawah, kita melihat pemandangan yang tidak tercatat oleh BPS:
Orang-orang sederhana yang masih bisa bersyukur.
Mereka tahu penghasilannya tidak tetap. Hari ini laku, besok belum tentu. Tapi mereka masih bisa ngopi bareng tetangga, saling tertawa meski gigi ompong, dan tetap menyisihkan uang untuk infak masjid kecil yang gentengnya bocor.
Tak ada statistik yang bisa mengukur keteguhan hati seperti itu.
Di Negeri Ini, Yang Dihitung Cuma Angka
Setiap laporan kemiskinan dibacakan dengan intonasi bangga. “Turun, Pak.” “Capaian membaik, Bu.”
Tapi angka itu hanya berlaku di ruang rapat. Tidak pernah mampir ke dapur-dapur yang kosong. Tidak pernah mengendus bau baju anak-anak yang dicuci dua hari sekali karena air bersih tak cukup.
BPS bukan musuh. Tapi cara berpikir yang mengira hidup manusia bisa diringkas dalam Rp 595 ribu per bulan—itulah masalahnya.
Refleksi: Siapa Sebenarnya yang Kuat?
Azzam memang layak mendapat yang terbaik. Semua anak pantas tumbuh dalam kenyamanan. Tapi jika satu anak bisa mendapat 25 juta, mengapa jutaan anak lain harus puas dengan status “tidak miskin” hanya karena bisa makan sekali sehari?
Ironisnya, yang disebut “tidak miskin” itu justru lebih kuat:
- Mereka tetap bekerja meski sakit.
- Tetap berbagi meski sempit.
- Tetap tersenyum meski tak tahu besok makan apa.
Mereka tidak butuh statistik untuk bertahan hidup. Tapi negara yang mengandalkan statistik, seharusnya malu jika gagal memahami kenyataan mereka.
Di negeri statistik yang lentur, orang miskin tidak diukur dari isi perut. Tapi dari kemampuan negara mencuci angka.
Join the conversation