-->

Kiyai Alwi: "Gak Penting wira'i, Sing Penting Wareg"




Kita hidup di zaman yang unik. Zaman ketika orang dengan fasih mengutip ayat dan hadis, tapi dengan mudah menginjak nilai yang terkandung di dalamnya. Zaman ketika ceramah soal wira'i—yakni menjauh dari perkara yang meragukan—bertebaran di YouTube, tapi praktiknya justru tenggelam di ruang-ruang transaksi.

Mbah Alwi, teman ngopi sekaligus -mungkin,murobbi- kami, seorang Gus dan kandidat kiyai, pernah mengatakan sesuatu yang "menggigit" soal ini. Katanya“Gak penting wira'i, sing penting wareg.” Sebuah frasa sederhana tapi menggambarkan dengan telak realitas mentalitas kita hari ini:

Artinya sederhana tapi tajam: gak penting jaga prinsip, yang penting perut kenyang. Dan sayangnya, ini bukan sekadar kelakar. Ini adalah cermin mental kolektif—baik rakyat jelata maupun para pemuka.

Kita mulai dari para pemuka. Ustaz, kiai, dai, sebutlah siapa saja yang berdiri di atas mimbar. Mereka mengajarkan hidup sederhana, jujur, dan menjaga diri dari yang syubhat. Tapi tak sedikit di antara mereka yang, begitu turun dari mimbar, justru ikut main proyek, mendekat ke kekuasaan, bahkan ada yang jadi juru kampanye berkedok doa bersama. Yang satu tangan mengangkat tasbih, tangan lain menerima amplop dalam amplop.

Jamaah pun heran: ini ceramah soal zuhud atau pengantar tender rumah ibadah?

Ada juga yang dari luar tampak sangat warak—berjubah putih, menunduk, banyak senyum. Tapi nomor rekeningnya muncul dalam bocoran aliran dana bansos, atau tiba-tiba punya yayasan yang rajin sekali dapat hibah dari kementerian. Semua sah, semua legal, tapi tetap saja menimbulkan aroma tak sedap.
Tapi tidak semua yang sah itu layak dan tidak semua yang legal itu etis.

Tentu saja ini bukan soal membenci ustaz. Bukan juga soal iri pada rezeki orang lain. Ini soal kejujuran. Soal sinkronisasi antara kata dan laku. Karena bagaimana mungkin umat diajari wira'i, kalau sang guru sendiri tidak bisa menahan diri dari gempuran duniawi?

Tapi mari adil. Tak hanya elite agama yang seperti itu. Rakyat pun tak kalah pragmatis. Di kampung-kampung, saat menjelang pemilu, kotak suara bisa dikunci dengan satu karung beras dan sebotol minyak goreng. Prinsip? Ditinggal dulu. Ideal? Nanti saja. Yang penting wareg.

Dan setelah lima tahun penuh janji dilupakan, rakyat kembali berkata pasrah:
“Yo wis lah, sing penting wareg.”

Ini bukan soal salah siapa, tapi soal budaya yang sudah terlalu lama tumbuh. Budaya yang menempatkan perut sebagai kompas moral. Ketika lapar, orang bisa paham mengapa mereka kompromi. Tapi ketika sudah kenyang, dan tetap membenarkan yang salah, maka itu bukan lagi soal perut—itu soal karakter.

Yang lebih menyedihkan adalah ketika agama, yang seharusnya menjadi penjaga nilai, justru ikut diperdagangkan. wira'i dijadikan kutipan, bukan laku. Dalil dijadikan dekorasi, bukan batas. Dan rakyat, alih-alih bangkit, malah ikut tenggelam dalam ironi.

Maka jangan heran kalau akhirnya yang kita lihat di masyarakat adalah:
Masjid makin megah, tapi korupsi makin merajalela.
Ceramah makin keras, tapi keadilan makin tipis.
Jumlah hafiz makin banyak, tapi hukum makin lentur bagi yang punya kekuasaan.

Dan semua itu bisa ditutup dengan satu kalimat ajaib:
“Gak penting wira'i, sing penting wareg.”

Kalau kata orang tua dulu, “perut kenyang, hati tenang.” Tapi kini, yang terjadi adalah: perut kenyang, prinsip hilang. Negeri ini tidak sedang lapar makanan—negeri ini sedang kekurangan keteladanan.

Maka pertanyaannya:
Masih adakah ruang bagi wira'i di tengah budaya wareg?
Atau jangan-jangan, kita semua sudah terlalu kenyang untuk merasa bersalah?
Tapi satu hal pasti:
Kalau wira'i hanya menjadi konten dakwah, tapi wareg jadi tujuan hidup, maka jangan heran kalau kita tumbuh menjadi bangsa yang kenyang, tapi kosong.
Baca Juga :-
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART