Selamat Datang di Malas Nulis

Festival Reog: Panggung Megah, Rakyat Pasrah

mewakili kegelisahan masyarakat Ponorogo soal festival reog.
Pertunjukan Reog Ponorogo di Festival Grebeg Suro yang dipadati penonton

Setiap bulan Suro, langit Ponorogo tak hanya diselimuti awan. Ia turut dipenuhi cahaya sorot panggung, raungan terompet reog, dan lalu lintas drone yang sibuk merekam setiap sudut perayaan. Festival Reog kembali digelar. Jalanan macet, hotel penuh, dan alun-alun kota menjadi titik tumpu perhatian nasional.

Namun, ada yang terasa berbeda. Dulu, Festival Reog adalah pesta rakyat. Kini, meskipun panggungnya lebih megah, suasananya mulai menjauh dari rakyat yang dahulu menjadi denyut utamanya. (Setidaknya menurut sebagian orang)

Pesta Rakyat yang Kian Elit

Reog, hari ini, bukan sekadar kesenian rakyat. Ia telah menjelma menjadi pertunjukan nasional. Masuk kalender budaya, diajukan sebagai warisan dunia UNESCO, dan tentu saja—menjadi ajang strategis bagi berbagai sponsor. Maka, wajar jika festival berubah rupa: dari perayaan bersama, menjadi tontonan yang dikemas apik, penuh formalitas, dan sedikit terlalu rapi untuk disebut meriah.

Tenda undangan dipasang. Kursi barisan depan diberi pita dan nama. Di sisi lain, masyarakat umum harus rela berdiri, atau menyelinap mencari sudut pandang terbaik di balik pagar dan petugas keamanan.

Dana Besar, Tapi Tidak dari APBD

Perlu dipahami, Festival Reog 2025 menghabiskan anggaran nyaris Rp 5,7 miliar. Dari jumlah itu, hanya sekitar Rp 350 juta yang bersumber dari APBD. Selebihnya, didanai oleh sponsor dan lembaga non-pemerintah.

Langkah ini patut diapresiasi. Namun konsekuensinya juga jelas: ketika pembiayaan berpindah ke tangan pihak ketiga, maka arah festival pun turut menyesuaikan—mengikuti kepentingan citra, promosi, dan target eksposur.

Seniman Lokal yang Terpinggirkan

Di antara kemegahan panggung utama, kelompok kesenian lokal mulai kehilangan tempat. Barongan kampung, jathilan karang taruna, grup reyog remaja—mereka tetap ada, tetap berlatih, tetapi jarang mendapat giliran tampil. Alasannya? Tidak cukup ‘menjual’.

Budaya visual hari ini menuntut tampilan seragam, koreografi rapi, dan lighting dramatis. Sementara para seniman kampung lebih akrab dengan kostum hasil tambal sulam dan latihan seadanya. Apakah karena itu mereka jadi tak layak tampil?

Budaya yang Hidup, Bukan Sekadar Dipertontonkan

Perlu diingat, budaya bukan hanya urusan panggung. Ia hidup dalam keseharian: dalam latihan malam yang sunyi, dalam tangan-tangan ibu yang menjahit kostum reyog, dalam penjual es teh yang setia mengisi pinggiran festival. Semua itu bagian dari budaya—meski tak tercantum dalam rundown.

Bila festival hanya mempertontonkan, bukan melibatkan, maka warisan budaya lambat laun kehilangan ruhnya.

Rakyat: Penonton atau Pemilik?

Pertanyaan yang menggelitik tapi penting: dalam festival ini, rakyat berperan sebagai apa? Pemilik budaya, atau sekadar penonton yang diizinkan hadir—asal tidak terlalu dekat ke panggung?

Bila akses kian terbatas, jika rakyat enggan datang karena merasa asing dengan suasana acaranya, maka kita perlu waspada. Sebab, bukan tak mungkin suatu saat Festival Reog menjadi megah secara visual, namun hampa secara makna.

Saran dari Pinggiran

  • Sediakan zona akses gratis atau tiket bersubsidi khusus untuk warga lokal, terutama di hari-hari utama festival.
  • Libatkan lebih banyak kelompok kesenian desa, bukan sekadar tampil di luar agenda utama, tetapi dalam slot waktu yang layak.
  • Libatkan komunitas lokal dalam perencanaan dan kurasi acara, bukan hanya sebagai pelengkap atau pelaksana teknis.
  • Evaluasi peran sponsor dan EO, agar tidak mengaburkan semangat kebudayaan dengan tuntutan visual belaka.

Penutup (yang Tak Terlalu Bijak, Tapi Jujur)

Reog akan terus hidup, selama rakyat masih merasa memiliki dan terlibat di dalamnya. Tapi kemegahan panggung tidak selalu berarti kemajuan. Kadang, cahaya sorot justru menyilaukan dan membuat kita lupa siapa yang membangun panggung itu sejak awal.

Sebab budaya tak selalu butuh sorot lampu—ia hanya butuh tempat untuk terus bernapas. Dan biasanya, yang membuatnya tetap hidup, bukanlah mereka yang duduk di kursi undangan, tetapi mereka yang tetap menari, meski sandal jepitnya hampir putus.