-->

Di Pondok Belajar Taqrib, Jadi Pejabat Uang Negara Raib

"Taqrib dilafal, APBN diakal."

Kalimat ini mungkin terdengar seperti gurauan santri yang iseng saat ronda malam, tapi entah kenapa belakangan terasa makin relevan. Di sejumlah meja kekuasaan, orang-orang yang dulu mengaji di serambi pesantren kini duduk memegang anggaran negara. Sayangnya, bukan hanya kitab yang mereka hafal, tapi juga celah-celah peraturan yang bisa diakali.

Di pesantren, santri biasa diajari satu kalimat sakti: “Man shabaro dzafiro”—siapa yang sabar, akan menang, beruntung, berhasil. Tapi rupanya sebagian dari mereka menafsirkan kata “menang” sebagai “menang proyek”, “menang tender”, atau “menang dalam urusan yang bisa dicairkan langsung tunai”. Maka sabar tak lagi identik dengan ikhtiar batin, tapi dengan menunggu waktu yang pas untuk deal-deal-an di pojok kementerian.

Kita ini kadang terlalu lihai dalam memainkan identitas. Ketika seseorang jadi menteri, atau jadi pejabat, atau dapat panggung nasional, maka label “kader NU”, “santri pesantren anu”, “mantan aktivis IPNU”, “putra kiai fulan” langsung disematkan seperti medali. Tapi giliran orang itu tersangkut kasus korupsi, mendadak semuanya jadi fardhu kifayah—cukup kita doakan diam-diam, dan jangan bawa-bawa NU.

Lho, ini gimana ceritanya? Ketika harum jadi milik bersama, ketika busuk jadi urusan pribadi? Kita ini maunya jadi keluarga pas Idul Fitri, tapi bubar pas ada tagihan lebaran.

Ambil contoh tokoh-tokoh yang pernah kita banggakan. Ada yang dulunya rajin hadir di forum IPNU, tabah ngopi sambil bahas nilai aswaja, rajin ngaji kitab Taqrib, dan bisa membedakan antara najis ‘ainiyah dan najis hukmiyah. Tapi belakangan, malah tidak bisa membedakan antara uang negara dan uang saku pribadi. Giliran diperiksa KPK, semua diam seribu sanad. Kalimat “itu urusan individu” jadi kalimat penghapus dosa berjamaah.

Padahal kalau di pesantren, santri ambil sandal bukan miliknya saja bisa kena damprat “Ojo ngelokro ngono, kuwi dudu duwekmu!” Tapi ketika ada tokoh yang “ngambil yang bukan miliknya” dalam skala APBN, malah semua manggut-manggut. Hanya karena statusnya “bukan pengurus resmi”.

Yah, semacam tafsir muwalah fleksibel, kalau boleh pinjam istilah pondok. Kalau cocok, diaku anak sendiri. Kalau bikin malu, dianggap numpang ngaji.

Sementara itu, NU sebagai jam’iyyah besar dengan sejarah panjang seperti orang tua yang terlalu banyak anak. Ada yang jadi kiai, ada yang jadi politisi, ada yang jadi aktivis tambang, bahkan ada yang jadi konsultan CSR untuk perusahaan yang ditolak warga. Tapi semua masih mengaku “NU kultural”. Giliran kena kasus, langsung bilang “saya bukan pengurus aktif”. Giliran kampanye, mendadak muncul di majelis-majelis pakai peci dan sarung, lengkap dengan kutipan Hadratussyaikh.

Kita pun bingung. Ini NU jam’iyyah, NU jama’ah, atau NU menurut kebutuhan?

Sejauh ini, belum ada satu pun pernyataan resmi dari struktur NU yang dengan tegas bilang: “Kami menyesalkan tokoh kami yang korup.” Biasanya yang muncul hanya: “NU tidak terlibat,” atau “itu bukan pengurus aktif.” Ya benar, tidak terlibat secara administratif, tapi jangan lupa—masyarakat sudah terlanjur menempelkan identitas NU ke tokoh-tokoh itu jauh sebelum mereka punya jabatan.

Kita ini kadang terlalu takut kehilangan citra, sampai lupa bahwa citra yang baik justru dibangun dengan keberanian untuk membersihkan. Bukankah di pesantren kita diajari bahwa “al-amru bil ma’ruf wal nahi anil munkar” itu bukan hanya urusan khatib Jumat?

NU bukan lembaga hukum, itu benar. Tapi NU bisa jadi kompas etika. Dan diam yang terlalu panjang, kadang justru merusak arah.

Mari kita jujur: kita senang ketika anak NU jadi menteri, jadi kepala daerah, jadi orang penting. Kita bangga melihat alumni pesantren pidato di forum internasional, pakai bahasa Arab dan Inggris sambil sesekali menyelipkan istilah ijtihad jam’i. Tapi kita harus juga punya keberanian untuk bilang, “Ini keliru,” ketika yang sama menggunakan jabatan untuk menyalahgunakan amanat.

NU tak perlu membakar kadernya sendiri. Tapi NU bisa—dan seharusnya—menjadi rumah yang bisa menegur dengan cinta. Kalau santri di pondok saja bisa dihukum karena terlambat ngaji, masa tokoh yang korup dibiarkan karena takut bikin gaduh?

Ada pepatah pesantren: “Siapa yang menanam, dia akan memanen.” Tapi jangan salah, pepatah ini berlaku juga untuk organisasi. Jika yang ditanam adalah pembiaran, maka yang akan dipanen adalah ketumpangan moral. Dan kalau itu dibiarkan terus, kita akan punya generasi yang belajar bahwa jadi santri itu bukan soal akhlak, tapi soal akses menuju kekuasaan.

Maka mari pelan-pelan kita rapikan wajah ini. Jangan biarkan NU hanya tampil indah di spanduk dan iklan kampanye, tapi hilang suara saat nilai-nilai dijual murah.

NU terlalu besar untuk sekadar jadi tameng. Ia harus jadi cahaya—meski redup, asal jujur. Dan seperti di pondok-pondok dulu: lebih baik lampu 5 watt tapi istiqamah, daripada lampu sorot yang nyala hanya kalau ada acara resmi.

Jika bukan sekarang kita bicara, lalu kapan? Kalau bukan oleh NU, lalu siapa?

Baca Juga :-
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART