Selamat Datang di Malas Nulis

Columbus dan Hegemoni Pengetahuan

Kisah Columbus dan gerhana bulan jadi refleksi pendidikan hari ini: satu arah, minim kritik, dan mengulang hegemoni pengetahuan di ruang kelas.

Columbus dan Hegemoni Pengetahuan: Dari Gerhana Jamaika hingga Ruang Kelas Kita

Bayangkan kamu terdampar di sebuah pulau asing. Persediaan menipis, bantuan dari penduduk lokal terhenti, dan situasi mulai tak terkendali. Dalam kondisi semacam itu, siapa yang bisa menyelamatkanmu? Pedang? Uang? Atau… pengetahuan?

Itulah yang dialami Christopher Columbus pada tahun 1504. Setelah berbulan-bulan terdampar di Jamaika, ia dan anak buahnya mulai kehilangan simpati dari penduduk asli. Bantuan makanan berhenti. Keputusasaan merayap. Tapi Columbus punya satu hal yang tidak dimiliki siapa pun di pulau itu: kalender astronomi.

Ia tahu akan terjadi gerhana bulan pada 29 Februari. Maka, ia berpura-pura berbicara atas nama “Tuhan”, memperingatkan bahwa jika penduduk lokal tak kembali membantu, langit akan mengirim murka: bulan akan menghilang. Dan benar saja, malam itu gerhana terjadi. Langit menggelap. Kepanikan melanda. Warga percaya, dan bantuan pun mengalir kembali.

Columbus selamat—bukan karena keberanian, melainkan karena ia menguasai informasi yang tidak diketahui orang lain. Dan dari sini, kita bisa belajar satu hal penting:

pengetahuan bukan hanya kekuatan, ia bisa menjadi alat kekuasaan.

Pendidikan: Mengulang Strategi Columbus?

Sekarang, mari kita pindah dari Jamaika ke ruang kelas modern.

Apakah kita masih melihat model seperti Columbus hari ini?

Sayangnya, ya. Sistem pendidikan kita—di banyak tempat—masih beroperasi dengan prinsip dasar yang sama: yang tahu mendominasi yang tidak tahu. Guru menjadi pusat kebenaran. Murid menjadi penadah informasi. Pengetahuan mengalir satu arah, dari atas ke bawah, tanpa banyak ruang untuk bertanya, berdialog, atau bahkan meragukan.

Columbus pernah menyembunyikan kalender untuk memanipulasi. Kita kini menyembunyikan proses berpikir kritis dari siswa—dengan menyederhanakan pelajaran jadi hafalan, menekankan skor ujian, dan menutup ruang eksplorasi.

Alih-alih melahirkan manusia merdeka, sekolah justru kadang menjadi tempat di mana kepatuhan lebih dihargai daripada pemahaman. Kita sering mendidik anak-anak untuk menjadi penghafal teori, bukan penanya yang aktif.

Hegemoni Pengetahuan di Era Kurikulum Padat

Coba perhatikan silabus sekolah. Mata pelajaran dirancang padat dan seragam. Anak-anak diajarkan untuk mengejar “kunci jawaban” ketimbang mengeksplorasi pertanyaan. Di sinilah letak masalahnya: kurikulum kita terlalu sibuk menjejalkan isi, tapi lupa menumbuhkan rasa ingin tahu.

Akibatnya, guru lebih banyak menjadi penjaga informasi daripada fasilitator berpikir. Dan murid? Mereka hanya berusaha menebak apa isi kepala gurunya di ujian. Ini bukan pembelajaran, ini pengulangan.

Columbus berhasil memanipulasi karena ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki warga lokal: akses terhadap ilmu. Kini, sistem pendidikan modern kadang melakukan hal serupa, secara sistemik. Yang punya akses ke pendidikan tinggi, buku mahal, internet cepat, dan ruang diskusi—mereka punya “gerhana” sendiri yang bisa dimainkan untuk menguasai opini dan peluang.

Siapa yang Kita Bentuk?

Kita sering lupa, pendidikan bukan cuma soal mengajarkan fakta, tapi membentuk cara berpikir. Jika dari SD sampai kuliah murid hanya disuruh menerima, kapan mereka belajar bertanya? Kalau sekolah tidak mengajarkan untuk menantang ide, bagaimana mereka akan kritis terhadap dunia?

Bayangkan, jika di kelas anak-anak tak pernah diberi ruang untuk berbeda pendapat, lalu di masyarakat kita berharap mereka toleran, berani menyuarakan keadilan, dan melawan ketimpangan. Bukankah itu kontradiktif?

Lebih buruk lagi, dalam sistem yang memuliakan hafalan dan nilai rapor, anak-anak belajar bahwa menyenangkan guru lebih penting daripada mempertanyakan isi pelajarannya. Ketaatan menjadi tujuan. Kepatuhan menjadi standar.

Padahal, dunia yang kompleks ini tidak bisa ditaklukkan dengan hafalan. Dunia butuh orang yang berani bertanya: “Kenapa bisa begini?”, bukan hanya menjawab “2+2 = 4”.

Apa yang Harus Diubah?

  1. Ubah cara pandang kita terhadap guru.
    Guru bukan pusat pengetahuan mutlak, tapi fasilitator proses berpikir. Tugas guru bukan menyampaikan semua jawaban, tapi membimbing murid mencari pertanyaannya sendiri.
  2. Beri ruang untuk bertanya dan berdiskusi.
    Kurikulum padat harus memberi tempat untuk eksplorasi. Sesi debat, diskusi terbuka, dan pembelajaran berbasis proyek bisa jadi pintu menuju literasi kritis.
  3. Kritisi sistem evaluasi.
    Ujian tidak boleh hanya mengukur hafalan. Sistem penilaian perlu menilai kemampuan berpikir logis, memecahkan masalah, dan membangun argumen.
  4. Lawan kesenjangan akses.
    Pengetahuan jangan hanya berputar di kota besar atau elit akademik. Literasi digital dan sumber terbuka harus dikembangkan dan disebarkan luas.

Dari Jamaika ke Ruang Kelas

Columbus hanya perlu satu gerhana untuk menundukkan satu pulau. Tapi hari ini, jutaan siswa setiap hari tunduk pada sistem yang menutup langit berpikir mereka sendiri.

Jika pendidikan tidak berubah, kita akan terus mengulang sejarah: menjadikan pengetahuan sebagai alat kekuasaan, bukan jalan pembebasan.

Maka tugas kita sekarang bukan sekadar mengajar, tapi membongkar—membongkar mitos bahwa hanya mereka yang di depan kelas yang boleh benar. Dan membangun, membangun ruang belajar yang adil, terbuka, dan kritis.

Karena masa depan bukan milik mereka yang paling banyak tahu, tapi mereka yang paling tahu cara berpikir.