Cinta yang Khilaf, 100 Ribu yang Melayang
Ada banyak jenis cinta yang tumbuh di pinggir jalan.
Cinta pada kendaraan sendiri, cinta pada lampu merah yang tak kunjung hijau,
dan satu cinta yang tak kalah tulus:
Cinta pada selembar 100 ribu.
Konon, cinta ini menetes dalam hati seorang polantas di Medan.
Ceritanya sederhana:
Seorang wanita melawan arus—kesalahan yang lumrah di jalanan penuh sabar ini.
Tapi siapa sangka, kesalahan itu malah jadi ladang rezeki khilaf.
100 ribu pun berpindah tangan dengan mulus.
Seakan-akan sudah ada jalur cepat, lengkap dengan karpet merah.
Dan ketika kamera usil menangkap momen itu,
tak ada drama air mata, tak ada pidato panjang.
Hanya satu kalimat pendek yang konon bisa merontokkan segala dosa:
“Saya khilaf.”
Ah, khilaf.
Kata suci yang rasanya sudah jadi semacam pelajaran wajib di akademi penegak hukum yang khilaf.
Konon, di sana ada kurikulum istimewa:
📚 Silabus Khilaf Terapan
Semester 1
– Pengantar Teori Khilaf
– Manajemen Wajah Datar Saat Diketahui Publik
– Teknik Menyebut Maaf dengan Intonasi Tulus
– Praktikum: Menyembunyikan 100 Ribu dalam 5 Detik
Semester 2
– Psikologi Pengakuan Dosa Ringan
– Manajemen Rasa Bersalah Kolektif
– Etika Foto di Balik Jeruji
– Ujian Akhir: Simulasi Tilang & Pungli Serentak
Dosen Pengampu:
Bapak Khilafudin, S.Kl., M.Kl. (Sarjana Khilaf, Magister Khilaf)
Gelar Lulusan:
Sarjana Khilaf Terapan (S.Kt.)
Predikat: Cum Laude.
Kita boleh senyum, boleh geleng-geleng kepala.
Karena di negeri ini, 100 ribu bukan sekadar angka,
melainkan saksi bisu betapa tipis batas antara penegakan hukum dan penggalangan dana instan.
Semoga saja 100 ribu itu tak terlalu merana,
karena telah berpindah dari dompet yang sah ke tempat yang entah.
Dan semoga kita semua hanya khilaf dalam urusan sepele,
semisal lupa bayar bakso—
bukan khilaf yang akhirnya masuk portal berita.
Catatan Kecil:
Lucu memang, kalau kita lihat sebagai cerita.
Tapi di balik senyum itu, ada yang lebih getir—
Bahwa pungli yang dianggap “khilaf” sering berulang,
dan dimaafkan seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Barangkali suatu hari kita perlu tanya lebih serius:
Apakah kita sungguh berdamai dengan kebiasaan ini,
atau hanya pura-pura tidak peduli?
Post a Comment