Selamat Datang di Malas Nulis

Barokah yang Tertukar

Majelis ilmu perlahan berubah menjadi panggung. Ustaz harus lucu, relatable, dan media friendly. Jamaah harus meriah, penuh semangat,

Mereka datang dari jauh. Berjubel di pinggir jalan, antre masuk lokasi sejak subuh, bahkan tidur di serambi masjid semalaman demi satu hal: menghadiri pengajian yang viral. Katanya, “Ngalap barokah.” Tapi sayangnya, barokah itu belakangan lebih sering tertukar dengan: “Siapa yang paling banyak like dan view.”

Padahal, di sekitar rumah atau di tempat terdekat, ada pengajian rutin setiap minggu. Isinya sama, ilmunya sama, bahkan kadang lebih aplikatif karena langsung nyambung ke kehidupan harian. Tapi sayangnya: tak ada kamera. Tak ada nama besar. Tak ada momentum.

Barokah Bergantung Kamera

Kita hidup di era yang aneh. Di mana keberkahan harus direkam, niat baik harus diumumkan, dan wajah khusyuk harus dicocokkan dengan angle terbaik. Apa-apa harus dibuktikan secara visual, termasuk yang katanya spiritual.

Majelis ilmu perlahan berubah menjadi panggung. Ustaz harus lucu, relatable, dan media friendly. Jamaah harus meriah, penuh semangat, dan—tentu saja—siap untuk diabadikan.

Semua harus estetik. Kajian harus punya backdrop keren, sound system menggelegar, dan jangan lupa: drone shot dari atas, biar kelihatan lautan manusia menunduk (meskipun beberapa hanya menunduk karena main HP).

Kesalehan Butuh Penonton

Budaya keagamaan kita, pelan tapi pasti, makin performatif. Segala bentuk ibadah perlu dibungkus agar menarik ditonton. Sedekah harus diumumkan. Zikir harus dibarengi lighting. Bahkan salat pun—maaf—kadang jadi bahan konten, lengkap dengan backsound syahdu dan slow motion saat takbiratul ihram.

Tentu, tidak semua pengajian viral seperti ini. Ada yang benar-benar menghadirkan ilmu mendalam, menyentuh nurani, dan menggerakkan perubahan. Ada pula ustaz-ustaz yang tulus berdakwah, lalu diviralkan bukan karena sensasi, tapi karena kejujuran dan kedalaman pesannya. Ini penting dicatat—supaya kita tidak terjebak pada dikotomi murahan antara “viral = palsu” dan “sepi = suci”.

Namun tetap...

Tak bisa dipungkiri, sebagian dari kita mungkin lebih sibuk mencitrakan kesalehan daripada menghayatinya.

Lebih sibuk mencari pengajian yang bisa diposting, ketimbang ilmu yang bisa diamalkan.

Lebih semangat menempuh jarak jauh, asal viral, daripada duduk diam di mushola dekat rumah yang tak punya akun Instagram.

Spiritualitas yang Dibisniskan

Fenomena ini bukan sekadar tren. Ia adalah gejala dari spiritualitas yang terjebak kapitalisme perhatian. Di mana yang menyentuh hati diukur dari seberapa viral, bukan seberapa mengubah perilaku.

Ustaz berlomba jadi influencer. Jamaah jadi audiens. Dan agama jadi tontonan yang harus terus dipoles agar tetap laku.

Tak heran, yang paling ramai bukan yang paling mendalam. Yang paling disukai bukan yang paling mengoreksi. Tapi yang bisa menyentuh hati... tanpa menyentil perilaku.

Kembali ke Akar

Mungkin sudah saatnya kita duduk sejenak dan bertanya ulang: apa yang sebenarnya kita cari dari agama? Dari ilmu? Dari majelis-majelis yang kita hadiri?

Sebab barokah sejati tak butuh kamera. Keikhlasan tak perlu penonton. Dan ilmu tak harus viral untuk bisa mengubah hidup.

Kadang, yang paling kita butuhkan adalah keheningan kecil di mushola sebelah rumah. Tanpa lighting, tanpa filter, tanpa kamera. Hanya ada hati yang ingin berubah, dan Tuhan yang mendengar.