Apresiasi untuk Pepeling
Mereka yang Tetap Memungut Setelah Pesta Usai
Di banyak tempat, pesta selalu lebih meriah daripada penutupannya. Kita ramai-ramai turun ke jalan merayakan Grebeg Suro—iring-iringan yang katanya sakral, penuh makna, dan pastinya penuh keramaian. Tapi setelah musik berhenti, dupa padam, dan orang-orang pulang, siapa yang peduli dengan sisa-sisa yang berserakan?
Jawabannya sering kali sederhana: cuma sedikit yang mau repot sampai akhir. Para petugas kebersihan sebenarnya sudah berusaha sekuat tenaga memungut sampah sejak pagi. Tapi pekerjaan itu tidak pernah ringan, apalagi ketika ribuan orang berlalu begitu saja tanpa menoleh. Pemerintah pun kadang hanya bisa pasang pengumuman “Mohon kesadaran bersama,” sambil berharap tumpukan plastik itu lenyap sendiri.
Tapi rupanya masih ada orang yang tak menunggu keajaiban. Mereka menyebut diri Pepeling – Pemulung Peduli Lingkungan.
Salah satu videonya di Facebook (lihat di sini) memperlihatkan pemandangan yang rasanya sudah biasa tapi tetap bikin geleng-geleng: jalanan penuh sampah sisa euforia Grebeg Suro. Spanduk bekas, bungkus makanan, plastik di mana-mana. Semua yang tadi dielu-elukan, akhirnya ditinggalkan begitu saja.
Lucu juga. Kita sering bilang Grebeg Suro itu warisan budaya yang harus dijaga. Tapi entah sejak kapan, warisan itu juga melahirkan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Dan ketika petugas kebersihan sudah kewalahan, orang-orang Pepeling datang. Tanpa banyak bicara, tanpa acara pencitraan, mereka menunduk memunguti sisa-sisa pesta kita.
Bagi sebagian orang, pekerjaan mereka mungkin cuma sekadar memulung (saya tidak tahu pasti pekerjaan mereka, tapi setidaknya itu yang tergambar di halaman sosial media mereka). Tapi kalau mau jujur, itu lebih dari sekadar memilah sampah. Ada ketulusan di sana. Ada keberanian untuk peduli tanpa pamrih.
Saya tidak sedang menulis pujian yang berlebihan. Hanya mencatat, bahwa di negeri yang doyan euforia ini, masih ada orang yang memilih turun tangan. Tidak menunggu acara “Aksi Bersih-Bersih Nasional”. Tidak menunggu sorotan kamera. Mereka datang karena bumi ini sudah terlalu capek menampung kebiasaan kita.
Barangkali, bagi sebagian orang, tulisan ini terdengar lebay. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya, mereka sudah menunjukkan bahwa peduli itu bukan cuma wacana. Mereka benar-benar melakukannya, mungkin tanpa imbalan apa-apa.
Dan, lagi, kesukariaan dan kemeriahan Grebeg Suro tetap meninggalkan sampah. Entah sampai kapan kebiasaan itu dianggap wajar.
Meskipun saya tidak ikut meriahnya Grebeg Suro secara langsung, dan saya bukan siapa-siapa, bukan orang pemerintah, saya hanya bisa bilang terima kasih saja. Tidak lebih.
Mungkin kita hanya perlu menunggu sampai para hadirin Grebeg Suro sadar, bahwa sampah tidak semestinya menjadi akhir dari sesuatu yang meriah.
Post a Comment