-->

Api Abadi di Timur Tengah: Konflik Palestina dan Israel

Konflik berkepanjangan di Timur Tengah, khususnya antara Palestina dan Israel, tidak hanya menjadi isu regional, tetapi telah menjadi sumbu api global yang melibatkan kekuatan besar dunia seperti Amerika Serikat dan Iran. Perang ini bukan semata-mata tentang perebutan wilayah atau balas dendam sejarah, tetapi juga mencerminkan kompleksitas identitas, agama, politik kekuasaan, dan dominasi geopolitik global.

Palestina dan Israel: Luka Sejarah yang Terus Terbuka

Konflik Palestina-Israel berakar dari pembentukan negara Israel pada tahun 1948 yang mengakibatkan eksodus besar-besaran rakyat Palestina, yang dikenal sebagai Nakba atau "malapetaka". Sejak saat itu, Palestina kehilangan sebagian besar wilayah historisnya, dan rakyatnya hidup dalam penjajahan kolonialisme, blokade ekonomi, dan krisis kemanusiaan. Jalur Gaza, sebagai simbol penderitaan rakyat Palestina, telah berubah menjadi penjara terbuka yang sering dibombardir oleh militer Israel dengan dalih keamanan nasional.

Sementara itu, Israel, dengan dukungan kuat dari Amerika Serikat, mengklaim berhak mempertahankan dirinya dari serangan kelompok-kelompok perlawanan Palestina seperti Hamas. Namun, dominasi militer yang timpang, penggunaan kekuatan berlebihan, serta ekspansi pemukiman ilegal di Tepi Barat menunjukkan adanya upaya sistematis untuk mendelegitimasi hak hidup dan eksistensi rakyat Palestina.

Peran Amerika Serikat: Sekutu, Arbiter, atau Provokator?

Amerika Serikat memainkan peran ganda dalam konflik ini. Di satu sisi, AS mengklaim sebagai penengah damai. Di sisi lain, negara ini adalah pendukung utama Israel dari segi militer, diplomasi, dan ekonomi. Bantuan miliaran dolar setiap tahunnya serta perlindungan Israel di forum internasional seperti PBB menjadikan AS tampak lebih sebagai sekutu ideologis daripada mediator netral.

Kebijakan luar negeri AS terhadap Timur Tengah juga dipengaruhi oleh faktor domestik, termasuk kekuatan lobi pro-Israel dan kepentingan strategis di wilayah kaya minyak tersebut. Dalam banyak kasus, AS dianggap mengabaikan pelanggaran HAM oleh Israel, tetapi bersikap keras terhadap Iran atau kelompok-kelompok pro-Palestina, yang memperkuat persepsi bias dan ketidakadilan internasional.

Iran: Penantang Dominasi dan Pelindung Palestina?

Iran mengambil posisi berseberangan dengan AS dan Israel. Republik Islam ini mendukung kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas di Palestina dan Hizbullah di Lebanon. Bagi Iran, perjuangan Palestina bukan sekadar konflik politik, tetapi bagian dari perlawanan terhadap "hegemoni Zionis" dan dominasi barat di Timur Tengah.

Namun demikian, dukungan Iran bukan tanpa motif. Iran memanfaatkan isu Palestina untuk memperluas pengaruh geopolitiknya dan memperkuat posisi regionalnya dalam menghadapi isolasi internasional akibat sanksi ekonomi dan ketegangan nuklir. Hal ini menjadikan konflik Palestina bukan hanya masalah lokal, tetapi bagian dari persaingan kekuatan global yang lebih luas.

Kemanusiaan yang Terabaikan

Yang paling terluka dalam konflik ini adalah rakyat. Anak-anak Palestina yang terbunuh dalam serangan udara, warga Israel yang akhir-akhir ini hidup dalam ketakutan akibat rudal, masyarakat Lebanon yang terjebak di tengah konflik sekutu, hingga rakyat Iran yang menanggung beban ekonomi akibat sanksi—semuanya adalah korban dari politik kekuasaan.

Dalam perang ini, suara kemanusiaan sering teredam oleh propaganda, narasi agama, dan kepentingan politik. Dunia internasional, meskipun mengeluarkan resolusi demi revolusi, telah gagal menegakkan keadilan dan menghentikan kekerasan.

Arah Masa Depan: Dialog atau Dominasi?

Perang di Timur Tengah, khususnya antara Palestina dan Israel dengan keterlibatan Iran dan Amerika, tidak akan selesai selama yang dikedepankan adalah dominasi dan bukan dialog. Perdamaian tidak akan terwujud jika keadilan diabaikan, dan hak asasi manusia dikorbankan demi ambisi geopolitik.

Diperlukan pendekatan baru—yang tidak sekadar diplomatik formal, tetapi juga rekonsiliasi historis dan pengakuan atas penderitaan kolektif. Dunia harus mendorong pemimpin-pemimpin global untuk tidak lagi bersikap partisan, tetapi berdiri di sisi kemanusiaan.

Jika kebijaksanaan dan kemanusiaan tidak lebih utama dari ambisi purba, niscaya perdamaian hanya utopis belaka. Bukankah masalalu telah memberi pelajaran kepada kita bahwa keserakahan adalah awal dari kehancuran.


Penulis:
Irsyad
Baca Juga :-
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART