Antara Tambang dan Mereka yang Tak Lagi Didampingi
Ketika dalil tak lagi bicara soal kebenaran, tapi soal siapa yang punya konsesi.
Lidah, Lentur tak Bertulang
Ada jenis kebijaksanaan baru yang tumbuh subur di negeri ini—semacam kearifan situasional, atau mungkin lebih tepat disebut kepentingan syar’i. Isinya sederhana: jika menguntungkan, dalilnya dicari; jika merugikan, dalil haramnya dibongkar. Ini bukan tafsir yang jujur, ini manuver berbalut jubah.Kita hidup di zaman ketika fatwa bisa lentur, bergantung pada siapa yang bertanya dan berapa besar proyek yang dibawa. Seorang tokoh bisa mengutip ayat tentang “mengelola bumi demi kesejahteraan,” lalu pada kesempatan lain mengangkat dalil tentang kerusakan bumi sebagai sebab turunnya azab. Semua sah, semua ada referensinya—tinggal disesuaikan dengan rapat terakhir. tapi tidak semua yang sah itu layak.
Menggali Tanah dari Mimbar
Contoh terbaru yang layak disimak adalah soal pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan. Alasan utamanya: demi kemandirian ekonomi umat. Alasan tambahannya: agar ormas bisa berdaya tanpa harus mengemis ke negara. Kedengarannya mulia. Sampai kita ingat satu hal penting:
Tambang itu merusak.
Merusak lanskap, merusak air, merusak relasi sosial. Tapi semua itu, tampaknya, bisa dilapisi dengan dalil yang manis. Maka kini, alat berat pun seakan bisa berzikir.
Sementara ormas yang dulunya dikenal sebagai pembela kaum tertindas, kini duduk manis di kursi direksi. Yang dulunya turun ke jalan membela petani tergusur, kini rapat internal soal logistik batu bara. Jangan-jangan nanti ada departemen fiqh tambang dibentuk untuk menghalalkan lumpur sisa penggalian.
Yang Lemah, Kini Makin Sendiri
Padahal sejarah ormas Islam di negeri ini bukanlah sejarah kekuasaan, melainkan sejarah keberpihakan. Mereka dulu berdiri untuk menyuarakan yang tak terdengar: petani yang tanahnya diambil, warga yang digusur, dan umat yang tak dilirik oleh negara.
Kini, saat tambang kembali membuka luka—warga kehilangan tanah, sawah jadi kolam limbah, rumah retak akibat ledakan dinamit—siapa yang berdiri di sisi mereka?
Sunyi. Tak banyak yang mau bersuara, apalagi membela. Karena pelakunya bukan lagi korporasi asing, tapi ormas sendiri. Dan melawan ormas adalah seperti melawan Tuhan di negeri yang mabuk agama.
Dua Kiblat Baru
Sebagian tokoh membela diri: “Ini cara baru berdakwah.” Dakwah lewat tambang, katanya. Dakwah yang menghasilkan. Dakwah yang profesional. Tapi barangkali kita lupa: dakwah yang terlalu dekat dengan kekuasaan, akhirnya jadi ladang sendiri. Dan di ladang itu, yang tumbuh bukan iman, tapi saham.
Kita pernah punya impian bahwa ormas akan jadi benteng moral masyarakat. Tapi jika benteng itu kini justru menampung investor, di mana lagi kita bisa bersandar? Jangan-jangan, dakwah hari ini adalah proyek juga. Ada proposalnya, ada markup-nya, dan tentu saja—ada komisi syariahnya.
Jangan Jual Sesuatu yang Suci
Kita bukan antiagama. Justru sebaliknya: kita muak melihat agama diperdagangkan. Kita muak melihat dalil dijadikan diskon moral. Kita muak melihat umat disebut-sebut hanya saat deklarasi, lalu dilupakan saat bagi hasil.
Jika ormas sudah ikut menambang, setidaknya jangan hilang keberpihakannya. Jangan lupakan mereka yang rumahnya retak, sawahnya lenyap, atau airnya kini berwarna coklat. Jangan hanya sibuk hitung laba, lalu lupa bahwa tugas utama adalah membela mereka yang tak punya suara.
Karena kalau semuanya ikut menambang, siapa yang akan menanam?
Join the conversation